Skip to main content

Kisah Penjual Telur

Sejak saya menempati rumah yang bertetanggaan dengan pasar tradisional, sedikit demi sedikit saya mengurangi kunjungan ke super market. Beberapa kebutuhan harian bisa saya penuhi dari pasar tersebut dengan harga yang jauh lebih murah.

Salah satunya adalah telur. Jika week end, saya senang memasak dengan menu telur. Telur dadar, telur ceplok. Haha, itu saja sebetulnya. Namun adik perempuan saya terkadang membuatkan bakwan jagung dengan campuran telur.

Hati-hati jika membeli telur. Harus kita sendiri yang memilih. Jika kita serahkan begitu saja pada penjualnya, mereka akan memasukkan telur-telur yang sudah pecah. Beberapa kali menimpa saya. Tidak saja di satu penjual, namun hampir rata-rata semua penjual telur di pasar itu. Kata bapak waktu saya kecil, perbuatan semacam itu adalah perbuatan yang tidak jujur. Berikan yang terbaik yang kita punya untuk melayani, apapun, kepada siapa pun.

Saya ingin mengenang masa kecil saya tentang telur dan usaha ternak ayam yang pernah dijalani keluarga saya. Namun berhari-hari kemudian, rencana menulis tentang hal ini belum kesampaian juga.

Hingga suatu hari minggu, seorang gadis kecil lewat depan rumah dengan sebuah container box plastik berisi penganan. Jalannya miring untuk membuat keseimbangan dengan bawaannya yang terlihat penuh. “Miserooo…” Teriaknya tak putus-putus menjajakan misro, gorengan yang terbuat dari parut singkong dengan gula merah di dalamnya. Saya pernah juga menjadi penjual keliling.

Usia sebelas atau dua belas tahun, saya pernah berjualan telur keliling kampung. Bapak saya memiliki peternakan ayam petelur. Semua orang di rumah sepertinya dibuat repot. Begitu kira-kira pikiran saya waktu itu. Setiap subuh saya sudah harus bangun, mengangkati telur agar terjual pagi-pagi itu juga.

Ada dua macam kandang. Ada kandang model sekat, di mana setiap ayam terpisah dan tersekat dari ayam-ayam yang lain. Kandang model ini memudahkan saya memunguti telur. Bentuk kandang bertingkat dengan kemiringan tertentu sehingga telur akan langsung menggelinding ke luar bagian kandang sehingga aman dari patukan ayam dan mudah dipungut.

Model satunya lagi, berbentuk kamar-kamar yang dihuni banyak ayam. Telur berantakan tidak karuan. Pada dasar kandang ditaburi dengan kulit gabah supaya telur tidak pecah saat dijatuhkan oleh ayam dari bagian belakangnya. Mereka bertelur tidak sambil duduk manis, namun sambil berdiri dengan kedua kakinya. Gabah juga membuat kotoran ayam cepat mengering dan tentu saja membuat ayam merasa nyaman dan hangat. Untuk kanadang model demikian, saya perlu masuk untuk memunguti telur-telurnya. Kadang ada ayam yang menyeruduk bikin saya senewen, kadang jika pintunya lupa saya tutup rapat, ayam-ayam akan kabur keluar pintu. Menyebalkan tentu saja. Kadang pula saya menginjak kotoran ayam yang masih basah.

Telur-telur harus segera diangkat karena jika tidak, akan dipatuki ayam hingga pecah dan bahkan terinjak oleh kuku-kuku mereka yang tajam. Jika telur pecah, tak akan bisa dijual.

Tugas selanjutnya adalah mengumpulkan bamboo-bambu dan tangki besar tempat minum ayam. Sisa airnya dibuang, dengan tapas saya bersihkan semuanya hingga lendir-lendirnya hilang dan bersih.

Setelah pekerjaan saya selesai, biasanya ada satu dua tetangga yang datang untuk membeli telur. Mungkin buat menu sarapan mereka. Saya akan menimbang telur sebanyak pesanan dengan harga yang sama seperti saya berikan pada warung-warung di sekampung. Setelah itu saya akan pergi ke sekolah.

Ketika saya sibuk di kandang, ibu bangun menyiapkan sarapan sementara bapak ke sawah memeriksa irigasi atau apapun yang bisa dia kerjakan sebelum pergi ke kantor.

Telur yang sudah saya kumpulkan kemudian di timbang. Karena saya tak cukup kuat mengangkat seisi ember berisi telur itu, ibu saya yang akan melakukannya. Kakak perempuan saya selanjutnya membawa telur-telur itu ke sebuah kantin dekat sekolahannya.

Tugas mengurus ayam berikutnya ditangani oleh ibu saya. Pada tong plastik besar, ibu akan menuang cairan vitamin dan mencampurnya dengan air untuk minum ayam sehari semalam. Setelah mengisi air minum, dilanjutkan dengan menuang pakan ayam.

Harga pakan ayam yang dibeli di toko, sangat mahal. Bapak selalu mengeluhkan. Bapak biasanya membeli pakan dengan jumlah besar, berkarung-karung. Tak heran kami punya koleksi karung bekas pakan banyak sekali. Kami punya gudang yang sangat luas untuk menyimpan pakan ini. Saya senang mengumpulkan karton seukuran kartu pos yang mungkin berisi tulisan tentang komposisi pakan, tapi bagian belakangnya kosong. Saya mengumpulkan kartu tersebut hingga berjumlah puluhan. Biasanya saya akan potong menjadi empat, lalu saya gambari. Saya membuat kartu kuartet!

Harga pakan suatu waktu sangat menjulang. Bahkan lebih mahal dari harga beras yang kami makan. Bapak mengakali dengan mencampur dedak yang dibeli dari penggilingan padi dengan pakan. Namun, menu baru ini tak disukai ayam. Akibatnya, mereka mogok bertelur. Kami sedih sekali. Akhirnya, dedak tak lagi dipakai.

Usai sekolah, saya mesti buru-buru pulang. Telur masih harus diangkati dan tempat air minum ayam harus diisi ulang. Ibu biasanya ada di sawah, menyiangi rumput, menanam batang singkong, menumpulkan pucuk bengkoang, atau apa saja yang diperintahkan bapak.

Nasi putih sudah tersedia. Tapi tak ada lauk. Saya akan menyiapkan makan siang untuk sendiri. Membuat ceplok telor, dadar, atau membuat nasi goreng. Bumbunya: bawang, cabai merah, sebatang kecil kunyit, ditaburi garam. Hmm, lezat sekali. Minumnya, saya akan membuat air asam jawa hangat.

Siang-siang, biasanya saya akan menyambangi tempat-tempat yang biasa ditongkrongi teman-teman sebaya. Main kelereng, main kartu, main sembunyi kaleng, main lompat tali. Main apa saja tergantung musimnya.

Jika musim layangan tiba, saya akan menarik diri. Saya paling tidak suka main layangan. Main layangan biasanya di sawah. Saya akan banyak menjaga kebun dan sawah. Teman-teman saya, maupun anak-anak dari kampung tetangga, akan merusak pagar kebun untuk menguber layangan putus. Pagar rusak, tanaman yang di kebun pun akan rusak dinjaki mereka. Dilemma buat saya. Kasihan bapak dan ibu.

Menjelang sore, saya sudah harus di rumah. Dengan kakak perempuan saya, saya akan bergotongan keliling kampung. Menjajakan telur ke warung-warung. Warung kecil akan membeli satu hingga dua kilo, warung besar akan membeli hingga lima kilo. Setiap hari.

Uang dari berjualan telur, bisa meringankan bapak menyekolahkan kami.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.