Skip to main content

Mahasiswa Plus

Seminggu sekali di luar jam kantor, saya meluangkan waktu untuk mengajar di sebuah universitas. Supaya terus belajar dan ilmu pengetahuan di kepala tak menguap tanpa bekas. Semester demi semester saya lalui dengan berbagai kenangan dan pengalaman.

Menghadapi mahasiswa, bukanlah hal yang sulit. Namun tidak juga mudah. Kadang saya menghadapi satu dua mahasiswa yang merepotkan. Santai aja. Saya tak ingin menjadi dosen yang galak namun tidak bermutu.

Ingat saya juga dulu pernah menjadi mahasiswa. Datang terlambat, ngobrol di kelas, menyontek, membaca majalah, mengisi tts, mengantuk... Mungkin perasaan-perasaan yang saya alami juga dialami dosen-dosen saya dulu. Apa perlu saya menolak mahasiswa masuk kelas gara-gara terlambat padahal saya dulu juga suka terlambat? Apa saya perlu menyuruh mahasiswa yang kedapati mendengkur di kelas untuk mencuci muka saat saya menerangkan sesuatu?

Pada kesempatan lalu, saya menemukan seorang mahasiswa yang sesekali tertidur di kelas. Bermata merah menahan kantuk dengan kepala yang tak bisa ajeg. Sangat mengganggu pandangan, apalagi dia duduk di barisan depan. Walalupun kelas hiruk pikuk saling berinteraksi, namun anak ini tetap anteng dengan aktivitasnya menahan mata agar masih bisa terbuka. Perjuangannya yang tak selamanya berhasil dia lakukan. Beberapa kali saya melihat dia tertunduk lama, jatuh tertidur rupanya.

Saya menegur dan memintanya untuk pindah ke kursi barisan belakang. Tak ada hal yang lebih kejam yang bisa saya lakukan terhadapnya. Beberapa hari kemudian setelah pertemuan kelas itu, ketika saya sedang melintas di deretan toko-toko sebuah pusat perbelanjaan, seseorang menegur. Saya tak begitu ingat siapa anak itu. Ternyata mahasiswa yang kalau dikelas suka tertidur itu. Anak itu tertidur di kelas karena seharian harus bekerja di sebuah toko. Dalam hati, saya bersyukur telah memperlakukan dia dengan baik. Lambat laun, saya mulai mengenali mana saja mahasiswa saya yang juga bekerja.

Menjadi mahasiswa plus bekerja pernah saya jalani juga. Uang sangat penting bagi saya kala itu. Mengharap kiriman dari orang tua tentulah amat terbatas. Memasuki semester tiga, saya mulai membagi waktu dengan menjadi guru pribadi anak-anak orang kaya. Matematika, Fisika, apa pun. Lumayan. Saya bisa beli sepatu baru, bisa nonton ke bioskop, pindah ke rumah kos yang lebih baik, dan menghentikan kiriman uang dari orang tua.

Ketika akhirnya saya mendapat kesempatan bekerja pada sebuah lembaga riset pemasaran, uang saya makin berlimpah. Tapi waktu, pikiran, dan tenaga yang saya korbankan jadi semakin banyak. Pagi kuliah, siang ke kantor, sore hingga malam di lapangan mencari responden. Saya harus membawa tas besar seperti salesman ketika giliran harus tes produk. Keliling Jakarta, mulai dari gang becek hingga kompleks perumahan mewah.

Pekerjaan yang menyenangkan. Saya jadi berkenalan dengan berbagai macam jenis penelitian pemasaran: produk, brand, iklan, kemasan, distribusi, logo, konsep produk, konsep iklan. Sabun mandi, obat nyamuk, kosmetik, pembersih lantai, es krim, pengharum ruangan, rokok, hingga kartu kredit.

Kadang sulit kadang mudah mencari responden, karena semua tergantung dengan kriteria yang sudah ditentukan oleh naskah. Saya akan mencari responden dari teman-teman di kampus, keluarga mereka, kenalan mereka, tetangga mereka. Semua orang sepertinya sudah tahu dan maklum dengan kesibukan saya. Kadang teman-teman yang menagih untuk dijadikan responden. Dengan begitu, mereka akan membawa pulang sejumlah produk yang dijadikan tester. Tentu saja hanya orang-orang yang sesuai dengan kriteria.

Selebihnya, saya keliling kota mencari responden yang sesuai. Naik bis, bajaj, ojek sepeda, ojek motor, perahu penyebrangan, jalan kaki. Benar-benar pekerjaan yang tidak saja melelahkan fisik, tapi juga mental dan pikiran. Panas kepanasan, hujan kehujanan. Digonggong anjing, diusir satpam, dijudesi pembantu, digoda oom-oom, dirayu tante-tante, dikerjai anak muda.

Jika pekerjaan sangat padat padahal laporan harus setiap hari masuk ke atasan, saya akan mengerjakan pekerjaan di mana saja. Di halte saat menunggu bis, di kantin kampus sambil menunggu jam kuliah, bahkan di ruang kelas di antara ceramah dosen.

Banyak suka duka. Seorang rekan pernah harus mengulang sejumlah wawancara dengan responden karena angket-angket yang siap dilaporkan ke kantor, hancur berkeping-keping karena dikunyah anjing tetangga.

Rekan lain pernah kecopetan di dalam bis. Barang yang hilang berupa amplop coklat tebal. Pencopet mengira mungkin amplop tersebut berisi barang berharga. Padahal cuma beberapa keping obat nyamuk bakar.

Saya pernah menyundul kusen pintu sebuah rumah di pemukiman kumuh hingga pintunya rubuh. Rekan lain mendapati respondennya sedang bermain cinta ketika dia memilih jalan samping karena ketika pintu rumah di ketuk tak ada sahutan.

Kali lain, saya kebingungan menjangkau responden untuk melanjutkan sejumlah wawancara ketika saya tiba di lokasi ternyata lokasi tersebut terendam air hingga sepinggang. Rekan saya lainnya histeris. Pada kunjungan pertama ia sukses menempatkan sejumlah produk tester pada sejumlah keluarga. Namun ketika beberapa hari kemudian dia kembali untuk melanjutkan wawancara, rumah-rumah yang sebelumnya dia kunjungi sudah tidak ada lagi pada tempatnya karena kena gusur.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.