Skip to main content

Rumput Tetangga Selalu Lebih Hijau


Seorang sahabat baru saja menceritakan kisah perselingkuhannya. Bukan yang pertama kali, sehingga tidak terlalu mengejutkan. Saya menyaksikan ia bahagia saat bercerita. Lebih dulu lagi, rekan kerja saya begitu bersemangat setiap harinya semenjak dia punya 'orang lain' di luar pernikahannya. Bukan berarti saya setuju dengan jalan hidup yang mereka jalani. Namun apapun yang mereka lakukan, mereka tetaplah sahabat saya.

Biasanya, karena tak ingin terdorong untuk menghakimi, saya tak pernah ingin memberi nasihat walaupun apa yang diperbuat atau dikatakan oleh orang-orang itu tidak sesuai dengan standar moral yang saya miliki. Bahkan jika mereka curhat. Bahkan jika mereka minta pendapat saya. Saya hanya boleh mendengarkan, tak ingin menganjurkan. Orang-orang itu yang paling tahu masalahnya. Orang-orang itu yang mestinya mengambil keputusan mau meneruskan atau berhenti. Tokh mereka pasti tahu resiko apa yang mesti ditanggung.

Saya selalu percaya bahwa apapun yang dilakukan, mereka pasti punya alasan. Apa yang menurut saya salah, belum tentu tidak baik buat mereka. Saya tidak mau sok paling benar, tidak mau salah kaprah.

Waktu Bapak saya muda dulu, dia juga pernah jatuh suka pada perempuan lain. Uniknya, karena Bapak terlanjur menganggap Ibu sebagai sahabat, ia selalu menceritakan perasaannya. Juga pertemuan-pertemuannya dengan orang itu. Ibu biasanya diam mendengarkan. Saat Bapak tidak di rumah, Ibu akan menangis tersedu bercerita kepada anak-anaknya. Lalu diantar seorang tetangga, akan pergi menemui orang pintar. Membawa gula dan kopi untuk dimantrai. Lambat laun, perhatian Bapak terhadap perempuan itu mengendur hingga akhirnya hilang sama sekali. Dan keluarga kami kembali utuh. Dan itu terjadi beberapa kali. Namun dia tetap Bapak saya. Saya ingin tetap ingin menganggapnya begitu.

Melihat kekurangan pasangan dengan mencarinya dari orang lain, bisa jadi bukan tindakan terpuji. Hal ini terang saja dapat menyakiti pasangan kita. Walalupun resikonya kita tahu bahwa kita mungkin saja akan kehilangan banyak hal, tetap saja membuat hubungan dengan pihak ketiga menjadi sebuah pilihan populer ketika kita tak bisa puas dengan pasangan sendiri.

Menjaga sebuah hubungan dari urusan orang ketiga memang tak mudah. Ketika saya mendapati pacar saya berselingkuh suatu ketika, tiada ampun, saat itu juga saya tinggalkan dia. Kali lain, dengan pacar lain, saya yang tak bisa memegang kendali ketika ada orang lain yang sepetinya lebih menarik dari pasangan saya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.