Skip to main content

Talk to Strangers

Saya tak pernah mau mengakui bahwa saya tidak tahu dengan siapa saya bicara! Saya akan sangat berterima kasih jika ada teman, baru maupun yang sangat lama, ketika menghubungi ponsel saya, baik menelpon maupun mengirim SMS, mereka mau menyebutkan nama. Karena kalau tidak, saya pasti akan sangat kebingungan siapa dengan siapa saya berhadapan.

Seberapa banyak, sih, memori ponsel yang saya miliki? Sementara nomor-nomor baru bersaing terus berdatangan meminta tempat: teman-teman baru, klien. Apalagi, dari satu orang saja begitu banyak nomor yang dimilikinya. Bayangkan, selain nomor ponselnya, saya juga harus merekan nomor kantor, nomor CDMA, rumah. Saya tak mungkin menyimpan semua nomor orang-orang itu semuanya.

Ponsel yang saya miliki bukanlah ponsel mahal dengan memori yang banyak. Dengan keterbatasan daya tampung, saya harus mencari akal. Misalnya, saya akan memindahkan nomor-nomor yang sudah jarang saya hubungi ke buku. Nomor-nomor dari orang-orang yang kerap saya hubungi saja yang saya simpan di ponsel.

Ketika ada SMS atau telepon dari seseorang yang nomornya tak saya simpan dan saya tidak bertanya dengan siapa saya berhubungan, saya rasa saya punya dua alasan. Pertama, saya tidak ingin dituduh lawan bicara, bahwa saya tidak menganggap penting dia. Saya tidak ingin mengecewakan. Kedua, menebak-nebak dengan siapa saya bicara ternyata juga memiliki sensasi yang luar biasa. Saya menerka-nerka dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang kira-kira dapat menggiring untuk menemukan jawaban. Luar biasa girangnya ketika saya bisa menebak dengan benar.

Pernah, serangkaian SMS saya terima, bertanya ini-itu tentang kamera digital dan segala tetek bengek mengenai fotografi, salah satu hobby yang saya geluti. Saya terus membalasnya, tanpa bertanya dari siapa SMS-SMS itu terkirim. Hingga komunikasi itu usai, saya tak pernah tahu dengan siapa saya ber-SMS-an.

Kali lain, telepon dari seorang perempuan. Seolah dia itu teman lama saya. Dia curhat, saya dengarkan. Dia bercanda, saya layani. Dia mengeluh, saya nasehati. Sama, hingga percakapan usai, saya tak pernah menemukan petunjuk dengan siapa saya bicara.

Beberapa kali memang saya bisa sukses menemukan siapa saja yang mengirimkan SMS dan menelpon. Lawan bicara saya tak perlu kecewa karena nomornya tak saya simpan dan saya pun mendapatkan kesenangan karena berhasil menebak dengan sukses.

Beberapa belas menit lalu, seseorang menelpon. Kami bicara lama. Amat menyenangkan, walaupun di kepala saya terus bertanya siapakah dia? Dia emudian mengajak bertemu karena katanya kami lama tak berjumpa. Saya bingung. Dari gaya bicaranya, dia begitu meyakinkan bahwa dia adalah teman saya. Tapi siapa?

Well, menghabiskan sore menjelang tutup akhir pekan, mengapa tidak? Maka saya menyanggupi. Rasanya? Pernah blind date? Begitu kira-kira. Seperti sedang bertualang. Sensasional.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.