Saya menerima sebuah SMS, dari sebuah nomor asing. Langsung saya hapus karena tak ingin menjadi anchor negatif dalam hati maupun otak. Seseorang yang pastinya mengenal saya namun malu menunjukkan identitas, menyindir tentang tulisan-tulisan yang saya buat di blog ini.
Hmm, sepertinya saya tak pernah ingin menyerang siapa pun. Saya berpendapat bahwa 'teman' saya itu telah berprasangka. Saya kasihan padanya.
Dalam jurnalistik, saya punya kesimpulan bahwa jika seseorang tak setuju dengan tulisan seseorang yang ditulis pada sebuah media, sebaiknya dia mengutarakan ketidaksepahamannya itu dengan membuat tulisan tandingan. Bukan menyerang penulisnya. Dalam dunia blog pun, hal sama bisa saja diterapkan. Jika seseorang tak setuju dengan tulisan yang ditulis oleh blogger lain, sebaiknya membalas dengan menulis ketidaksetujuannya dengan blog juga, blog sendiri. Tidak memaksakan kehendak dengan menyerang pribadi blogger yang tak sepakat dengan dirinya.
Saya menyebutnya teror, ketika sebuah tindakan yang dilakukan seseorang bermaksud mengganggu baik fisik maupun mental orang lain. Semoga saya tak terlalu terganggu dengan sebuah SMS 'silaturahmi' itu. Makanya langsung saya hapus dan tak ingin membahasnya dengan siapa pun juga.
Tanpa menghubungkan pengirim SMS tadi dengan pihak mana pun, saya juga, hingga belakangan ini, masih menerima SMS atau telepon gelap. Entah maksudnya apa. Dulu-dulu saya masih suka terpancing untuk mengangkat cell phone ketika orang itu menghubungi saya. Setiap saya angkat, tak ada suara. Sangat mengganggu. Selanjutnya, saya abaikan. Biar dia capai sendiri. Mungkin fans saya yang malu-malu menunjukkan diri.
Lebih dulu lagi, saya pernah berpengalaman menghadapai 'teroris' yang sangat luar biasa bikin senewen.
Dimulai dari telpon-telpon tanpa jelas dari siapa, menghubungi cell phone dan kantor. Setiap diangkat dan disapa tak pernah ada sahutan. Saya tak bisa menelpon balik karena rupanya dia menelpon dari wartel. Setiap hari, berjali-kali, bertahun-tahun.
Awalnya, kalau lagi mood baik, ketika orang itu menelpon, saya bicara sendiri saja. Menceritakan apa yang sedang saya lakukan, apa yang sedang saya rasakan. Tak sedikit pun saya berprasangka siapa di ujung telpon sana.
Hal-hal menakutkan mulai terjadi. Orang itu mulai menelpon, mengirim surat, mengirim email, mengirim fax kepada teman-teman kantor, keluarga, teman kuliah, tetangga... Dia bertanya segala rupa tentang saya dan menyebarkan berita apa pun yang dia ketahui tentang saya. Dari suaranya, diketahui kalau dia seorang perempuan.
Saya sempat menangkap basah siapa dia, ketika dia menelpon ke kantor, saya bekerja sama dengan receptionis. Suara dia pun terekam dengan jelas, ketika dia menghubungi adik saya yang bekerja pada sebuah radio.
Dari suaranya, tentu saja saya mengenal dia. Dia seorang sahabat. Yang karena cintanya saya tolak, lalu kehilangan percaya diri dan berbuat nekad. Dengan bekal berbagai bukti otentik, saya mengadukan kelakuan dia kepada orang tuanya. Hal ini saya lakukan karena perempuan itu tak berhenti juga meneror dan bahkan mengelak kalau dia yang melakukan. Alih-alih dapat simpati dari orang tuanya, saya justeru dikecam. Dituduh saya hanya membuat sensasi.
Sebuah jebakan saya siapkan. Dan tak ada kejahatan yang luhung bisa lestari. Tertangkap basah ketika sedang berusaha menghubungi saya di sebuah wartel, padahal saya ada di sekitar wartel itu. Bukan hal mudah juga melacak semua wartel yang pernah dia kunjungi. Saya membuat mapping. Berbagai cara saya lakukan agar bisa menggambarkan pattern kapan dan di mana saja dia biasa menghubungi saya. Ah, lega rasanya memergoki si pelaku sedang beraksi.
Namun memang karena sifatnya yang culas, meskipun sudah ketahuan, tetap saja dia berdalih. Kepada orang tuanya dia bersumpah atas nama Allah kalau dia tidak melakukan.
Rupanya, meskipun sudah terpojok, tak juga menghentikan dia. Pembalasan yang lebih keji dia lakukan. Entah berapa banyak poster dia sebar dan tempel di sejumlah gedung di sepanjang Thamrin dan Sudirman. Isi poster benar-benar fitnah untuk saya.
Saya diam. Saya biarkan.
Dia terus membuntuti saya. Saya ikut kegiatan ini itu, dia ikut. Sepertinya dia sudah kehilangan akal. Dia terus mengganggu orang-orang yang saya kenal dan bahkan keluarga mereka. Bertahun-tahun.
Saya diam. Saya biarkan. Pelan-pelan energi dia melemah. Sampai kesadaran dia temukan sendiri.
Waktu berlalu. Berkali-kali saya masih ketemu dia di berbagai kesempatan. Saya sapa dia. Saya ajak dia bicara. Saya tunjukkan bahwa saya tidak mendendam. Masa lalu itu, biarkan berlalu.
Comments