Skip to main content

'Tidak Melekat' agar Seimbang


Beberapa waktu lalu saya ikut sebuah kelas meditasi. Sang guru berucap: "Jangan melekat pada suatu situasi terlalu lama." Saat bermeditasi duduk khusu dalam satu posisi, kita dituntut untuk berkonsentrasi pada suatu hal. Namun seringnya, walapun niat khusus selalu ada, yang namanya pikiran selalu saja berlalu lalang. Entah itu kenangan masa lalu, maupun rencana-rencana dan imajinasi di masa datang.

Jangan melekat, maksudnya, ketika saya dalam situasi meditasi, pikiran-pikiran liar itu jangan dibiarkan tambah meliar hingga seolah meditasi hanya diisi oleh nostalgia dan lamunan. Seyogyanya saya harus segera kembali berkonsentrasi.

Saya jalankan konsep meditasi dalam kehidupan sehari-hari. Namanya kehidupan, tentu saya jalani seperti seharusnya saya hidup. Tidur, makan, bekerja, bersosialisasi, beribadah. Karena tidak melekat tadi, saya kemudian tidak membiarkan diri dan persaan saya larut dalam situasi-situasi tertentu yang mungkin akan menjadikan diri saya kecil.

Ketika melihat sesuatu yang tidak semestinya, jika menuruti hawa nafsu, mungkin saya tak akan berhenti mengeluh dan mengomel. Padahal orang-orang yang saya hadapi tentunya adalah makhluk-makhluk ciptaan yang juga punya hati. Saya juga tak ingin suasana hati saya terlalu dimanjakan oleh kegembiraan padahal tak ada sesuatu pun yang kekal.

Bagi saya, tidak melekat pada suatu situasi perasaan dapat menyeimbangkan diri. Ketika bahagia, saya kendalikan rasa itu agar tidak terlalu gembira. Ketika sedih, saya kendalikan rasa itu agar tidak terlalu kalut. Ketika bingung, saya kendalikan rasa itu agar tidak menjadi panik.

Imbalannya, ketika semua rasa saya dudukkan dalam satu jenjang tanpa ada yang lebih dominan, saya bisa menerima semua macam keadaan dengan ketenangan yang sangat.

Suatu pagi (bahkan sering), saya lupa menarik kunci dari pintu rumah ketika hendak ke kantor. Padahal setiap detik siapa pun bisa melihat kunci itu tergantung dan melakukan hal terburuk dalam prasangka saya. Apapun jika semesta menghendaki terjadi, terjadilah. Saya pasrah saja. Saya biarkan diri saya bingung, namun hanya sedetik saja. Selebihnya saya lebih baik berkonsentrasi terhadap apa yang sedan saya kerjakan pada saat itu. Malamnya, tetangga saya yang baik hati, akan mengantarkan kunci tersebut sambil tersenyum maklum (karena kebiasan saya ini).

Kali lain, ketika harusnya saya kalut karena berbagai deadline pembayaran sementara pemasukan uang tersendat, saya bicara pada semesta: "Mudahkan! Beri waktu terbaik untuk semuanya." Sejenak kemudian saya merasa seisi alam raya bergerak. Energi yang meliuk, angin yang berhembus, segala niat segala keinginan yang saling bernegosiasi, bumi menetramkan, langit menyejukkan. Dan semuanya baik sebaik-baiknya.

Matikan rasa sedih yang berlebihan. Matikan rasa marah yang berlebihan. Matikan rasa bingung yang berlebihan. Supaya tidak melekat. Biar semua baik. Biar semua seimbang.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.