Skip to main content

Pameran Foto Clavdij Sluban: Habis Gelap, Gelap Terus?

Seorang fotografer Prancis memamerkan sejumlah karya fotonya di Jakarta. Foto-foto yang dipajang adalah foto-foto yang dia buat selama kunjungannya ke Indonesia dua tahun silam, ditambah sejumlah karya dari pengembaraannya mengunjungi Ukraina, Rusia, Turki, Rumania, Yunani, dan beberapa negara lain. Negara-negara yang pada masa lalu telah mencapai suatu titik peradaban tertinggi. Lalu karena perang atau bencana, kejayaan itu hanya dapat ditemui pada cacatan sejarah.

Clavdij Sluban memilih 'Apres L'Obscurite...' yang berarti habis gelap, menjadi thema untuk pameran foto ini. Setelah gelap... apa yang Anda harapkan kemudian? Seolah memplesetkan 'habis gelap terbitlah terang' yang setiap bulan April selalu menjadi topik perbincangan, pameran ini tak bermaksud ke sana. Habis gelap, menurut Sluban, keadaan bisa saja menjadi tambah gelap.

Pameran foto ini, digelar di Galeri Nasional dari tanggal 20 April hingga 2 Mei 2006. Disponsori oleh CCF Jakarta sebagai bagian dari program tahunan Le Printemps.

Foto-foto tanpa judul ini sebagian dipajang tunggal, kadang dua bersisian. Ada juga yang bergerombol lima hingga enam bingkai. Sluban merangkai foto-foto tersebut berdasar pada bentuk grafis semata. Ada tiga kunci yang dapat diurai untuk bisa memahami cara berkesenian Sluban. Pertama, bagaimana ia membuat pembagian bidang warna hitam, abu, dan putih berdasarnya komposisinya. Lalu garis-garis horisontal, vertikal, dan diagonal. Juga bagaimana foto-foto yang mengandung lengkung-lengkung di kelompokkan.
Fotografer yang pada saat bersamaan juga sedang memamerkan 300-an karyanya di Cina ini tak ingin mendongeng dengan foto-fotonya. Dia memberikan kebebasan bagi para audience untuk menentukan jalan cerita yang ingin dipilih. Sebebas dia menyusun foto-foto tak urut waktu, lokasi, maupun keadaan. Suasana khusu Istiqlal ia gabung dengan kerumunan orang di pasar Jatinegara, lalu situasi tak jelas di sebuah desa di Bali, bahkan sendu senyap seorang pengemis di satsiun Depok. Baginya, semua hal adalah halal untuk dilakukan.

Di Indonesia, Sluban berkeliling memasuki ke lorong-lorong gelap kawasan pasar Jatinegara, gerbong-gerbong kereta api berjalan sepanjang stasiun Kota dan Depok, pelabuhan Sunda Kelapa, hingga masyarakat muslim yang sedang berjemaat sholat Jumat di Istiqlal. Sambil memberikan bimbingan pada murid-muridnya yang dia asuh pada sebuah workshop, Sluban tak henti mengklikkan kameranya.

Melihat ke belakang karya-karya Sluban yang pernah dipublikasikan di beberapa pameran di luar negeri, saya mendapat kesan bahwa karya-karyanya yang melulu hitam putih, terasa dingin dan penuh kesunyian. Jikapun dia memotret seseorang bahkan segerombol orang dengan ekspresi penuh, kesan lengang dan kosong selalu tampil dominan.

Ketika saya berkesempatan untuk menemani beliau melakukan hunting foto, saya mulai mengerti mengapa karya-karyanya cenderung 'autis'. Diakui Sluban, dia tidak merasa perlu membangun sebuah kedekatan tertentu dengan objek yang dipotretnya. Click and run. Jika kita mengamati foto-foto yang menampilkan orang misalnya. Mereka benar-benar dijadikan 'objek'. Sluban tak memerlukan kerja sama dengan mereka. Orang-orang yang menjadi sasaran bidikan Sluban akan selalu berekspresi apa adanya. Jikapun orang-orang tersebut terlihat menatap lensa kamera, mereka tampil dengan wajah terkejutnya. Sluban akan tiba-tiba datang menghampiri sasaran, tiba-tiba mengklik, tiba-tiba pergi. Menurut Sluban, ekspresi awal dari sang objek sangatlah penting. Di sanalah keaslian dari para objek itu.

Jangan terlalu bicara teknis dengan Sluban. Foto yang baik baginya, tak harus dengan fokus yang tajam dan pencahayaan yang baik. Itu mengapa kita bisa menemukan foto-foto Sluban yang buram dan blur. Baginya, kolaborasi antara tumpahan energi sang pemotret dengan objek yang dibidiknyalah yang lebih penting. Passion itu yang selalu ia jadikan pembenaran atas semua karya yang dibuatnya.

Meskipun banyak negara sudah pernah ia kunjungi, namun Sluban biasanya menghindari tempat-tempat turis biasa berkunjung. Kalaupun ia harus melakukannya, tentulah sebuah pengecualian. Ia tak merasa perlu bersenang-senang. Bersenang-senangnya ia adalah dengan kamera analog yang selalu ia bawa kemana pun ia pergi. Click and run!

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.