Skip to main content

TransJakarta Anti Kesetaraan Gender?


Menumpang Trans Jakarta jurusan blok M-Kota, saya menemukan sebuah sticker yang ditempel pada kaca jendela bus. "Tunjukkan Budaya Kita.Utamakan Orang Cacat, Peremuan, dan Lansia."

Maksud tulisan itu, mengajak para penumpang untuk peka terhadap sesama penumpang. Mereka dianjurkan untuk memberikan kursi kosong kepada ketiga kelompok orang di atas. Saya mengamati, kampanye tersebut sangat efektif. Buktinya, dengan serta merta banyak kaum muda rela melepaskan kondisi nyamannya.

Memberikan kursi pada orang cacat? Baiklah. Lansia? Baiklah. Peremuan? Wait a minute!

Hal ini yang bagi saya menjadi bias. Apakah kalimat ini dimaksudkan agar para lelaki menjadi gentleman dengan memperlakukan mereka dengan istimewa atau pihak TransJakarta mempunyai sebuah pandangan mensejajarkan perempuan dengan orang cacat dan manusia lanjut usia? Jika pihak pengelola TransJakarta memiliki pandangan seperti ini, betapa menjengkelkannya. Jika kondisi tersebut hanyalah ketidaksengajaan, betapa menyedihkan.

Bahwa perempuan itu tidak lemah, tentu saja pesan utama yang selalu ingin dikumandangkan para aktivis perempuan bahkan RA Kartini. Kaum perempuan ingin disejajarkan dengan pria!

Bolehlah katakan bahwa saya terlalu mengada-ada dengan mempersoalkan hal kecil seperti ini. Menurut saya, apa yang dilakukan oleh Trans Jakarta, terlepas itu disengaja atau tidak, telah menanamkan sebuah value tentang kedudukan perempuan di mata masyarakat. Bayangkan, sticker dengan teks seperti itu, dibaca oleh ratusan penumpang setiap hari, ribuan penumpang setiap bulan, berapa banyak kepala yang pada akhirnya mendapatkan anchor anti keseteraan gender seperti itu?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.