Skip to main content

Urinoir Tidak Ramah Muslim

Mencuci alat kelamin setelah buang air kecil, bukan saja untuk kebersihan semata, namun sebagai Muslim, hal ini berarti juga menjaga kesucian.

Saya menemukan di banyak gedung di Jakarta, urinoir yang tersedia kebanyakan tidak ramah muslim. Urinoir yang terbuat dari keramik, menjadi medium ringkas buat para pria untuk buang air kecil. Awal generasi, benda-benda ini dibuat lebih sederhana. Untuk menyiram urin, kita tinggal memencet suatu tombol. Dari cucuran air yang turun, kita bisa mengusap air tersebut untuk kita gunakan mencuci kelamin. Generasi berikutnya, urinoir ditanami sebuah pipa logam. Selain menyiram urin, air yang keluar dari pipa kecil ini bisa kita pakai untuk mencuci-cuci.

Namun dalam prakteknya, urinoir tersebut memang cenderung cepat rusak. Bocor dan malah macet. Hingga air tak terkontrol keluarnya.

Generasi berikutnya, urinoir dibuat menggunakan sistem sensor. Sensor ini membuat akan keluar dan berhenti dengan sendirinya. Sistem ini bekerja, sesaat ketika kita berdiri tepat menyentuh sensor itu dan beberapa saat setelah kita keluar dari sensor, Bagi management gedung, urinoir sistem ini lebih awet dan hemat air. Namun bagi para pengguna muslim, tentu saja belum bisa menutup retsleting sebelum mencuci-cuci. Padahal, air tak keluar jika kita tak meninggalkan tempat itu!

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.