Menyaksikan film yang diangkat dari sebuah novel, siap-siap saja menerima kejutan. Bisa manis, bisa hambar. Bisa lebih sederhana dari kisah aslinya, bisa lebih spektakuler. Tentu saja dengan selusin alasan.
Jika dengan membaca buku DaVinci Code karya Dan Brown itu anda menemukan sejumlah 'rasa' petualangan, jangan harap di filmnya akan merasakan hal yang sama. Walaupun ide besarnya adalah pemburuan 'harta karun' untuk mematahkan sebuah mitos yang kadung dipercaya oleh jutaan umat di dunia, film ini tak seseru Indiana Jones atau bahkan National Treasure.
Saya merasakan pemilihan Tom Hank terlalu dipaksakan untuk menggambarkan sosok seorang professor yang piawai memecahkan berbagai kode. Saya seperti masaih melihat Forrest Gump yang disembuhkan dari idiotnya. Tom Hank tampil tak terlalu memukau. Hal yang mengganggu lainnya adalah dengan menghilangkan dialek Prancis aktris Audrey Toutou. Dengan hawa Prancis yang begitu kental dari awal hingga akhir, sayang saja jika identitas linguistik ini ditiadakan. Aksen Prancis justeru banyak terdengar dari para figuran. Bahkan Jean Reno yang tampi lebih dari separuh tayangan ini pun harus mengorbankan aksen khasnya. Bisa dimaklumi jika para pemodal merasa perlu tetap mengibarkan identitas bahwa DaVinci Code adalah film Amerika, yang harus laku dijual di seluruh dunia.
Jika selama menonton anda terlalu mengandalkan teks terjemahan, sepertinya anda akan kehilangan sejumlah percakapan penting. Ada beberapa percakapan yang tidak diberi subtitle. Dengan mengangkat sejumlah topik sensitif yang bisa mengarah pada SARA, saya agak heran kenapa film ini lolos sensor, atau setidaknya lolos tanpa terlalu disensor. Simaklah percakapan para tokoh utama memperbincangkan tentang kesibukan para sesepuh gereja menentukan tanggal kelahiran Jesus, hari Paskah, hingga bagaimana menuhankannya. Termasuk keberanian membuat sebuah kesimpulan tentang Jesus dan kehamilan Maria Magdalena, perempuan pelacur yang turut hadir pada perjamuan akhir. Untuk sebuah kejutan besar bahwa Jesus berketurunan dan keturunan terakhirnya masih hidup, penyajiannya terlalu biasa. Atau karena saya terlalu percaya bahwa ini kisah fiktif semata? Penyensoran lebih terlihat pada beberapa bagian film yang mempertontonkan pria telanjang.
Saya menduga diloloskannya film ini, karena yang diangkat adalah sejarah kristiani, bukan sejarah nabinya orang muslim.
Secara teknis, satu hal yang saya catat dari kontinyuiti adegan, yang mungkin lepas dari pengawasan editor. Ketika seorang tokoh penjaga berpakaian Gregorian berhasil dibekuk, diikat dengan mulut diplester. Ketika tokoh utama perempuan membukakan plester karena ingin mendengar jawaban dari pertanyaan yang diajukan, dia tak menutupkan lagi plesternya. Tak ada orang lain yang memasangkan plester tersebut kembali. Namun pada adegan selanjutnya, plester sudah terpasang kembali.
Sebagai sebuah tontonan, film ini sangat menghibur. Jika anda belum nonton, sebaiknya segera berkemas. Karena siapa tahu akan segera didemo lalu dilarang oleh pemerintah. Di beberapa negara, film ini diboykot.
Tapi tenang, tak akan ada FBR apalagi FPI yang mendemo. FPI hanya tertarik hal-hal yang bersinggungan dengan agama yang mereka anut.
Comments