Skip to main content

Reading Signs from Merapi


[Foto-foto di Merapi]

Ketika November 2005 saya menginjakkan kaki untuk pertama kali di puncak gunung Merapi, saya tak pernah membayangkan jika kini Merapi siap-siap meletus. Cuaca waktu itu sangat cerah hingga puncak gunung yang dinamai Puncak Garuda bisa dinikmati dengan leluasa.

Sepanjang pendakian, gunung Merbabu terlihat anggun tepat di belakang punggung. Letak Merbabu tak jauh dari Merapi. Setiap kali saya dan kawan-kawan lelah mendaki, kami beristirahat sambil memandangi keindahan Merbabu. Hal yang sangat menghibur dan kami berjanji jika ada waktu akan mendaki Merbabu juga.

Akhir Maret tahun ini, tercapai juga keinginan itu. Meskipun dibayangi cuaca yang kurang bersahabat, kami tetap membulatkan tekad untuk menaklukan puncak Merbabu.


[Foto di Merbabu]

Namun sepertinya memang bukan saat yang tepat. Hingga hamir mendekati puncak, cuaca buruk tak henti-henti. Hujan badai dengan angin yang sangat kencang. Hawa dingin yang benar-benar memporakporandakan belulang. Kami mengalah, pulang. Tiba di Yogya, saya mendengar ada sejumlah pendaki dari Bekasi dan Tangerang dikuatirkan hilang karena badai. Namun syukurlah, mereka selamat keesokan hrinya.

Saat di tengah badai sepanjang malam di bagian antah barantah Merbau itu, saya mengalami sejumlah peristiwa aneh.

Tiba di Jakarta, saya bercerita kepada seorang sahabat yang dengan keahliannya, bisa berdialog dengan sesuatu dari dimensi keempat. Lalu, tersambunglah percakapan dengan sang 'penguasa' Merbabu: Suasana duka sedang menyelimuti Merbabu dan Merapi. Sesuatu akan terjadi pada Merapi. Maka perlu dibuat peringatan agar manusia waspada. Makhluk halus itu tak ingin becerita terus terang ada apa.

Lalu kami coba 'menghubungi' penguasa Merapi. Kami memanggilnya Nyai Merapi. Makhluk ini pun enggan berkomentar tentang duka apa yang sedang menyelimuti. Saya terus bertanya:
Penggundulan hutan?
Menggeleng.
Bakal ada bencana?
Terdiam.
Merapi meletus?
Terdiam?
Iya, Merapi bakal meletus?
Menggangguk.

Sesungguhnya saya tak terlalu merisaukan isi percakapan itu. Saya menganggap komunikasi yang kami lakukan sekedar permainan iseng dan horor belaka. Namun beberapa hari kemudian, saya dikejutkan oleh sebuah pemberitaan Metro TV yang mengabarkan bahwa Merapi sedang menunjukkan gejala-gejala akan meletus! Sesuatu harus segera saya percayai.

Saya melongo. Peringatan itu benar adanya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.