Skip to main content

Soeharto is Dying: Memanfaatkan, Memaafkan


Tua, kaya, dan terhormat. Jika kelak anda merasakan, betapa bahagianya. Menjadi tua merupakan hal yang tak bisa dihindari karena semua makhluk akan mengarah ke sana (jika panjang umur). Kaya adalah dampak dari rezeki besar. Sementara untuk dapat penghormatan sebagai makhluk terpuji, itu berkat perbuatan kita selama hidup.

Soeharto semakin kritis kesehatannya hari demi hari. Menghitung hari, akankah menjadi lebih sehat atau justeru pass away. Separuh rakyat yang pernah dibawahinya masih menyimpan kegeraman karena apa yang telah beliau perbuat kepada negeri ini. Sebagian rakyat yang pernah dimakmurkannya, gelisah.

Soeharto tua, memang. Soeharto kaya, pasti. Soeharto terhormat, silakan bantah.

Segelintir penguasa menginginkan Soeharto tetap terhormat, sebagai bekas kepala negara. Lalu diterbitkanlah surat sakti agar pemeriksaan atas segambreng kasus yang melibatkannya dihentikan.

Banyak orang kecewa. Menuduh pemerintahan kini berkhianat terhadap semangat reform.

Tua, kaya, tak terhormat. Jika tak semuanya anda miliki, kombinasi mana yang sepatutnya: tua, kaya, tak terhormat? Tua, tak kaya, terhormat? Tak tua, kaya terhormat?

Kesempatan kaya dan atau terhormat, tak datang pada sembarang orang. Hanya orang-orang terpilih saja. Tak semua orang jadi manager. Tak semua orang jadi wakil rakyat. Tak semua orang jadi kepala dusun. Jabatan yang kita pegang, bisa memberikan kesempatan kita untuk menjadi kaya dan terhormat, kaya namun tak terhormat, atau tak kaya tapi terhormat.

Orang berani mempertahankan segala hal untuk tetap bermartabat. Namun ada orang yang tak begitu perduli dengan kehormatan asal bermateri banyak. Selagi berkuasa memanfaatkan segala kesempatan. Pertaruhan kehormatan, tokh, jika aksi 'sampingan' ketahuan saja.

Soeharto menjadi kaya karena beliau pernah punya kesempatan. Kesempatan yang ada lalu beliau manfaatkan sebaik-baiknya. Beliau lupa bahwa segala sesuatu yang berada di semesta ini tak ada yang lestari. Maka segala bentuk kesempatan yang pernah beliau pilih, menjadi tak populer lagi pada masanya.

Masa kini, kesempatan harus dibagi-bagi. Seperti yang dilakukan penguasa sekarang.Berbagi-bagi kesempatan tak ada yang tanpa pamrih. Ada saat memberi, ada saat menerima. Berkat berbagi-bagi kesempatan yang beliau lakukan dulu, beliau berhasil menduduki tahta tertinggi. Semua masuk dalam sebuah sistem yang bernama kompromi.

Kini pamrih itu ditagih: ampuni penguasa dulu!

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.