Skip to main content

Feminism Unileverism

Reputasi pagi public figure teramat berarti. Reputasi tertentu dapat membentuk image tertentu bagi yang bersangkutan.

Artis, sebagai public figure, mempertaruhkan reputasi mereka dari ke hari hari. Ketika seorang artis didaulat oleh sebuah brand tertentu untuk menjadi endoser, makin terujilah dia.

Menyebut sejumlah nama, seperti Deasy Ratnasari, Sophia Latjuba, doyok, adalah nama-nama selebritis yang pernah tersandung masalah, dari perceraian hingga kasus narkoba. Mereka dianggap tidak berhasil mengemban amanat untuk menjadi duta dari brand yang diiklankan. Deretan nama-nama tadi kurang berhasil menjaga reputasi.

Tamara Blezinky yang kita tahu, sedang didera persoalan yang tidak sederhana. Dari mulai meninggalkan suami dan anak, tuntutan perceraian, pembagian harta gono gini, hingga perebutan hak asuh anak.

Melihat potensi masalah yang begitu empuk menjadi santapan media infotainment, mestinya kita maklum jika perempuan indo itu diputus kontrak oleh Unilever, perusahaan besar dunia yang selama bertahun-tahun bekerja sama dengannya. Namun apa yang terjadi, baik Unilever maupun biro iklannya sepakat untuk menganggap bahwa kasus Tamara hanya persoalan kecil yang tidak perlu dipermasalahkan. Padahal, demi menjaga brand-brand yang dimilikinya, Unilever selalu memiliki standar rumit agar persepsi masyarakat tidak terkomintasi oleh attitude buruk para bintang iklannya.

Tamara masih menjadi andalan Unilever. Semakin kencang iklan Lux terbarunya tayang di berbagai acara TV. Padahal pemberitaan miring tentang kehidupan pribadi dan orang-orang terdekatnya seperti tak knjung usai.

Mengapa Unilever masih mempertahankan Tamara? Apakah Unilever merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk menunjukkan jati diri sebagai perusahaan yang menjunjung feminism?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.