Skip to main content

Kuatir Jaipong



Pada milis Kota Bogor yang saya ikuti, topik mengenai kekuatiran Jaipong akan 'dipunahkan' jika RUU APP disahkan, sedang ramai dibahas. Mungkin karena mayoritas penghuni milis ini adalah orang Sunda, maka banyak pihak merasa ikut prihatin.

Jika jaipongan betul-betul dilarang oleh RUU, lalu kenapa? Mengapa kita menjadi tiba-tiba perduli dan prihatin nasib jaipong? Selama ini ikut melestarikan saja tidak. Apakah kita selama ini punya perhatian dengan menganjurkan anak perempuan kita berlatih tarian ini? Apakah kita punya waktu dan minat untuk menonton pertunjukan daerah baik di panggung di sekitar rumah kita atau di TVRI?

Perubahan sosial yang membawa dampak pada pergeseran standar moral dan nilai-nilai, akan selalu terjadi di masyarakat mana pun.

Dulu Ibu kita sehari-hari pake kain batik dan kebaya (kebaya sunda, ketat di badan), dengan sanggul atau rambut panjang menjuntai. Sekarang, ibu-ibu kita berbusana panjang dengan kerudung menutupi kepala. Jaman kebaya dan sanggul urai sudah lewat.

Apakah kita menggugat Ibu?

Teknologi komunikasi menjadikan dunia seperti kampung kecil. 'Bahasa' dunia bisa menjadi 'bahasa' lokal. Arus informasi menjadi arus pengaruh yang luar biasa dasyat.

Tentu kita akan sedih jika misalnya tarian jaipong aseli pasundan ternyata masuk dalam screening RUU APP. Jika hal ini menjadi bagian dari kesepakatan para dewan yang menggodok RUU maka jaipong akan tinggal jadi kenangan. Karena larangan ini disahkan oleh UU, kita lalu menilai bahwa telah terjadi suatu penyimpangan keadilan terhadap warisan seni budaya aseli daerah.

Dulu becak dan bajaj (jakarta) dielu-elukan. Sekarang dianggap mengganggu. Karena kita merasa moda kendaraan itu sudah ketinggalan jaman. Jika sekarang angkot merajalela, wajarlah. Emang sedang jamannya angkot.

Sekarang, jika jaipong memang harus pergi karena terkena RUU APP, biarlah berlalu. Karena memang sudah bukan jamannya.

Comments

Anonymous said…
sekedar komentar, mungkin rakyat papua yang masih pake koteka akan termasuk dalam daftar yang difilter, mengingat walaupun ada celana seringkali mereka kesulitan, dan tidak nyaman menggunakan celana.
Anonymous said…
tari kecak, pendet, srimpi, dan tarian lain yang rata2 pake baju daerah ketat, bahkan kemben, juga bakal ikut punah. Hidup Indonesia!!!
Oh iya, mungkin kalo jadi ada hukuman kurungan untuk pelanggar RUU APP, penjara bakal penuh sama orang Papua, Dayak, Badui. Sip deh ;)
Kolam renang?? Tutuuupppp ;))
Anonymous said…
Selama ini mungkin orang2 gak terlalu peduli sama orang2 papua pedalaman, dayak dan badui, hanya segelintir orang yang peduli dengan budaya mereka. Kalo gitu boleh dong orang2 yang gak peduli itu bilang "biarin aja orang2 "telanjang" itu di penjara, toh selama ini kita gak peduli kok sama mereka, memang sudah waktunya punah, kayak hewan2 purba itu lhoo"

Mungkin pendapat sepertu itu sama dengan orang2 yg gak peduli dengan tari jaipong ^_~

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.