Skip to main content

NewsSetting: Shiloh for Sale


Shiloh Nouvel, bayi haram hasil hubungan intim Brad Pitt dengan Anjolina Jolie, belum-belum sudah menangguk popularitas dan rezeki berlimpah. Pihak yang beruntung mendapatkan hak publikasi sejumlah foto ekslusif bayi merah tersebut dipegang oleh Getty Image , sebuah foto agensi dengan nilai US$ 2 juta.

Namun, baru saja kesepakatan itu dibuat, tahu-tahu foto bayi dan orang tuanya itu dengan mengejutkan muncul di sampul majalah Hello, terbitan Inggris. Tudingan-tudingan berseliweran. Siapa mencuri dari siapa.

Pernahkah membayangkan bahwa apa yang kita lihat di depan mata itu adalah sebuah rekayasa berita?

Brad Pitt dan Jolie, sejoli yang memang sedang ranum menjadi santapan gossip belakangan ini. Sepak terjang mereka terus-menerus dikuntit media. Mengapa media sedemikian berkorban untuk terus menayangkan pasangan ini? Itu karena permintaan masyarakat akan kabar terbaru mereka sedemikian tinggi.

Atas nama bisnis dan keinginan memuaskan rasa penasaran umum terhadap si jabang bayi, pitching antar media dari agensi foto untuk mendapatkan foto-foto, terutama yang ekslusif dari sumber berita, menjadi lumrah dan teramat penting.

Saya mencium nuansa news setting dalam kasus ini begitu kental. Pihak yang sebenarnya memenangkan hak publkasi atas foto-foto tersebut sesungguhnya adalah Hello. Namun jika kejadiannya begitu saja, beritanya pun akan biasa saja. Paling-paling, kita hanya akan membaca sebuah berita kecil di halaman belakang suatu media dengan judul, ’Majalah Hello Memenangangkan Hak Publikasi atas Shiloh’.

Dengan taktik bagaimana menciptakan berita yang spektakuler, maka dibuatlah skenario cerdas. Pemenang hak publikasi adalah Hello. Namun dibuatkan pemberitaan bahwa pemenangnya adalah Getty. Siapa diuntungkan? Semuanya. Semua pihak mendapatkan publikasi yang setimpal.

Hal lain yang mungkin terjadi adalah Hello sudah membeli hak publikasi dari Getty!

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.