Skip to main content

Cukup Dua Anak, Masihkah?


Dalam sebuah tayangan infotainment yang sempat saya lihat, gubernur DKI Suiyoso dan mantan Menhankam hadir dalam pesta pernikahan putra pelawak Timbul. Keduanya dimintai komentar. Seragam, mereka berucap: “Selamat untuk kedua mempelai. Semoga dikarunia banyak anak.”

Kontras dengan komentar Ari Wibowo, artis yang baru saja melangsungkan pernikahan. Juga pada tayangan acara TV yang sama. “Saya akan mengikuti anjuran pemerintah untuk punya anak dua saja.”

Seorang celebritis, seorang pegawai pemerintah, dan pensiunan.

Adalah hak manusia merdeka di negeri demokratis untuk memiliki anak berapa pun jumlahnya atau tidak memiliki sama sekali. Namun ketika Anda menyadari bahwa diri Anda adalah public figure dimana setiap ucapan dan perilaku Anda bisa saja disiarkan oleh media massa, maka berlatihlah untuk menjadi PR yang cerdas bagi bangsa ini.

Dalam kasus ini, meskipun ketiga tokoh kita itu bukan dari BKKBN, setidaknya mereka pasti masih mengingat kampanye besar era Soeharto itu. Kampanye ‘Cukup Dua Anak Saja’ memang pernah menjadi slogan nasional untuk mengendalikan jumlah penduduk yang membludak. Hingga akhir 80-an, kampanye ini masih terus berdengung. Kreativitas dari pelebaran slogan tadi, misalnya menjadi: ‘Hati-hati, Anak Saya Cuma Dua’.

Jumlah penduduk memang biasanya menjadi perhatian besar pemerintah. Pemerintah Cina pernah melancarkan kampanye satu anak saja. Pemerintah Singapore kebalikannya, justeru mengenjot agar masyarakatnya untuk rajin memproduksi anak.

Jumlah penduduk di Indonesia, pernah sangat memprihatinkan banyaknya. BKKBN waktu itu, bekerja sama dengan banyak perusahaan swasta untuk membuat rambu-rambu jalan permanen untuk jangka waktu lama. Mengepung perkotaan, menyelinap ke pedesaan. Mereka juga mengumandangkan jingle lagu kampanye yang terus-menerus diputar di TVRI hingga radio-radio. Akbiatnya, pesan yang ingin disampaikan oleh BKKBN mampu meresap ke sanubari masyarakat.

Hal lucu terjadi, setiap kali saya datang ke pernikahan kerabat, pesan-pesan para undangan kepada mempelai, biasanya dibumbui dengan lelucon: ‘Jangan lupa, cukup dua anak.

Sekarang kita tak pernah mendengar BKKBN berkampanye. Beberapa faktor yang bisa saya duga, antara lain:
- Lembaga tersebut sudah tidak ada
- Setelah ’Cukup Dua Anak’, mereka tidak punya ide kampanye lain
- Tak punya anggaran
- Tak perduli dengan jumlah penduduk Indonesia
- Pertambahan penduduk bukan prioritas pemerintah
- Penduduk Indonesia dalam jumlah yang aman untuk sekian dekade ke depan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.