Pasta gigi FORMULA sedang rajin berbelanja iklan. Iklan dipercaya dapat mendongkrak penjualan produk. Untuk kategori FORMULA, tujuan meningkatkan awareness konsumen sudah bukan saatnya lagi. FORMULA telah ada di pasar lama sekali dan saya yakin sebagian besar konsumen tahu pasta gigi merek ini.
FORMULA masuk Trans Jakarta melintas busway mengiris jalanan Jakarta. Ribuan orang pengguna Trans Jakarta dari hari ke hari dipoles kenangannya agar selalu teringat pada FORMULA. FORMULA juga beriklan di acara-acara TV. Bahkan, di beberapa bagian jalan tol dalam kota, merek ini berkibar pada umbul-umbul yang berjejer rapat.
Itu yang saya tahu. Hal yang tidak saya ketahui, apakah beragam bentuk komunikasi yang digelar oleh FORMULA dapat signifikan dengan angka penjualannya?
Sebagai merek yang mudah diingat, saya percaya akan berhasil. Bukankah dari sejak sekolah dasar dan menengah kita sudah sedemikina dekat dengan kata ‘formula’ ketika kita berhitung berkenalan dengan rumus phitagoras, archimedes, CO2, dan lain-lainnya itu?
Ketika saya masuk dapur, Ibu saya membuat adonan kue donat pake sebuah formula khusus. Sopir angkot agar bisa mengejar setoran menggunakan formula juga. Tim kreatif Formula pun sependapat. Makanya, mereka beriklan di acaa besar sekelas Indonesian Idol, sambil berujar: untuk menjadi idol pun perlu formula.
Mereka melupakan satu hal. Pepsodent dan merek-merek pasta gigi lain pun pake formula yang membedakan satu dengan yang lain. Kata ‘formula’ untuk merek sebuah pasta gigi terlalu generik. Tidak ada keunikannya. Bahkan untuk produk apa pun. Mengapa mereka tidak menyebut secara specifik formula apa? Jenis apa?
Mengapa FORMULA 1 bisa berhasil? Karena mereka tidak menggunakan kata F-O-R-M-U-L-A saja. Mereka membuat positioning formula nomor pertama. Hingga jika ada formula-formula lain, pasti nomor ke sekian.
Well, Anda mengingat dengan baik ada pasta gigi merek FORMULA? Apakah Anda tertarik untuk membeli? Saya tidak.
Comments