Skip to main content

Kisah Taufik


Anda sering mengikuti gossip public figure? Saya sangat jarang menonton acara televisi, sekedar untuk tidak menyebut tidak menyukai acara TV sama sekali. Apalagi acara yang mengetengahkan gossip-gossip seputar kehidupan artis negeri ini yang menurut saya sangat tidak penting.

Namun kemana pun kaki melangkah, hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan seputar celebritis tak bisa menjauh. Ada saja yang membahas. KebSeberapa keras hati ini saya untuk ti tidak perduli, tetap saja indera saya menerima berbagai macam informasi tentang mereka.

Bidang pekerjaan saya yang kerap bersinggungan dengan manusia-manusia yang bernama celebritis. Ada yang kemudian jadi klien, ada yang kemudian jadi sahabat, ada yang kemudian jadi TTM. Begitulah.

Gossip artis menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan saya akhirnya, mau tidak mau. Bahkan ketika bertemu klien pun, cerita tentang seputar artis menjadi bumbu di sela diskusi, presentasi, atau ketika sedang terlibat dalam sebuah produksi.

Salah satu public figure yang saat ini sedang diterpa gossip hebat yaitu Taufik Hidayat. Setiap orang seperti merasa punya urusan untuk turut membahas nasib dia. Di satu pihak, merasa Taufik adalah seseorang yang sangat berjasa bagi negeri ini. Di pihak lain, Taufik tetaplah orang lain atau setidaknya orang di 'layar kaca' yang memang sedap untuk dijadikan tontonan. Semakin dramatis kisahnya, semakin betah orang menyaksikan cerita hidupnya.

Lalu dengan sejumlah teman, saya berandai dan mencoba membuatkan solusi yang tepat bagi Taufik. Membayangkan jika saya adalah tim penyelamat Taufik (seolah tak perlu perduli dulu dengan perempuan yang mengaku ditiduri Taufik. Prioritas adalah pahlawan olah raga kita. Keselamatannya lebih utama dibandingkan siapa pun juga).

Apa yang perlu anda lakukan jika anda adalah seorang Taufik Hidayat?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.