Skip to main content

Memahami Tuhan dengan Logika

Pelajaran tentang iman dan saya berpikir santai bahwa tuhan tak ada hubungannya dengan berbagai kejadian di dunia. Semua hal bisa terjadi karena adanya sebab akibat.

Mengapa banjir kita tahu mengapa. Mengapa gempa bumi dan lalu tsunami kita pun tahu mengapa. Mengapa pecah perang Libanon pun kita tahu mengapa.

Orang beragama akan percaya bahwa kita manusia sedang diuji. Katanya, manusia sedang diberi pelajaran karena dosa-dosanya. Dosa setiap orang berbeda banyaknya. Adilkah jika seorang bocah kecil yang malas bangun pagi mati tertimpa dinding rumah dihukum dengan dilenyapkan nyawanya? Adil pulakah seorang isteri yang malam sebelumnya tak melayani suaminya dengan baik diganjar dengan hukuman mati gelombang tsunami?

Padahal para pejabat yang menelan milyaran uang negara masih uncang-uncang kaki di rumah mewahnya yang kuat dan kokoh.

Tuhan penyayang. Jika melukakan, menghilangkan, merusakkan, mendukakan, apa nama pengganti dari kata sebutan penyayang? Well, bisa sejuta argumen untuk mendebat.

Pertanyaan saya, betulkah tuhan benar-benar ada? Sekarang saya berpikir keras, bagaimana menuangkan sebuah pemikiran tentang keberadaan tuhan tanpa dicap tak percaya tuhan. Atau mungkin saya belum paham benar bagaimana tuhan itu adanya? Ya, saya belum paham dengan konsep ketuhanan seperti yang selama ini didakwahkan.

Sulit rasanya menyamakan persepsi dengan kebanyakan khalayak. Kita terlalu didogma bahwa urusan ketuhanan adalah urusan keyakinan. Bicara agama, banyak yang tidak masuk akal, maka tak harus dicari logikanya. Kita dianggap tak cukup taqwa ketika masih bertanya ini itu perihal ketuhanan.

Menurut saya, justeru dalam hal-hal seperti inilah kita diperdayai oleh para penyebar agama.

Kini ada karena ada sesuatu yang mendahuluinya. Bagi saya, keyakinan yang saya anut harus masuk akal dan logika. Saya muslim. Tapi jangan samakan saya dengan para tetangga ketika saya menjalani agama yang saya anut. Sebagai manusia merdeka, saya punya hak 100% untuk melakukan segala hal yang saya yakini selama tak mengganggu pihak lain.

Agama boleh saja bilang bahwa minuman beralkohol itu haram. Bagi saya, yang haram itu jika kita meminumnya berlebihan. Ketika tubuh tak lagi menjaga keseimbangan karena jika alkohol terlalu banyak yang masuk dalam tubuh, akibatnya bisa fatal. Ini yang saya namakan dengan logika. Maka saya betul-betul mencintai agama saya ketika saya bisa mencampurkan dengan pemahaman saya sendiri.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.