Skip to main content

Move to Another Level

Saya mulai bisa mendeskripsikan level hidup apa yang hendak saya masuki. Saya ingin berganti kelas. Beberapa bulan terakhir saya secara sadar memasuki kelas tawakkal. Saya merasa telah berhasil melaluinya.

Kelas tawakkal berisi pelajaran-pelajaran tentang bagaimana menerima dan melepaskan sesuatu dengan tingkat emosi dan perasaan yang balance. Tak duka berlebihan tak marah tak menyesal ketika kehilangan, tak gembira berlebihan tak jumawa.

Sepuluh ribu di kantong, bisa saja sama nilainya dengan sejuta. Makan di pingir jalan, bisa saja sama nilainya dengan makan di hotel berbintang lima. Sendiri atau ditemani, pergi atau ditinggalkan, dikhianati atau dicintai. Hati saya akan baik-baik saja karena semua perasaan dan kejadian dan kepemilikan hanyalah titipan. Taka ada sesuatu hal pun abadi adanya.

Alhamdulillah, syukur puji tuhan. Kelas itu telah membentuk pribadi saya yang baru. Kesederhanaan, karena tak ada yang sesungguhnya rumit. Keindahan, karena semuanya indah.

Saya ingin berganti level dan kini mulai memasukinya. Perubahan tak saja untuk saya, namun juga untuk lingkungan sekitar saya. Dengan terus membawa sertifikat tawakkal yang pernah saya menangkan sebelumnya,

Selama saya mengikuti kelas sebelumnya, saya betul-betul mengisolasi diri. Saya hampir melepaskan semua kegiatan yang menyita waktu. Prioritas saya bekerja. Maka dari pagi hingga malam bahkan akhir pekan, saya dedikasikan diri untuk bekerja. Tak apa, saya memang senang melakukannya.

Saya merasa tak perlu begitu lagi. Kelas yang saya masuki berikutnya adalah kelas kembali menyibukkan diri dengan sejumlah kegiatan dari pagi hingga malam bahkan akhir pekan namun untuk kegiatan yang berbeda. Saya bekerja, mengajar, dan memotret. Bekerja dari pagi hingga sore selama Senin hingga Jumat. Sore hingga malam saya mengajar di sejumlah universitas. Akhir pekan saya memotret. Walaupun masih berupa wacana, satu persatu persiapan sudah saya mulai. Konstruksi telah dipancangkan.

Persoalan utama adalah manajemen waktu. Waktunya saya bekerja, saya bekerja. Memanfaatkan waktu, pikiran, tenaga, dan kesempatan hanya untuk bekerja. Mendorong diri saya hingga batas optimal kemampuan. Waktunya mengajar dan memotret pun demikian. Satu persatu saya deskripsikan strategi dan taktiknya. Saya perlu membuat blue print baru.

Saya tak bisa memilih mana yang menjadi prioritas lagi. Bukan tak ingin. Saya memang tak bisa. Saya mestinya paham betul memperlakukan mood saya yang sering berubah, talenta saya yang berlebihan, dan konsentrasi saya yang juga mudah blur.

Inilah yang saya sebut move to other level.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.