Saya mulai bisa mendeskripsikan level hidup apa yang hendak saya masuki. Saya ingin berganti kelas. Beberapa bulan terakhir saya secara sadar memasuki kelas tawakkal. Saya merasa telah berhasil melaluinya.
Kelas tawakkal berisi pelajaran-pelajaran tentang bagaimana menerima dan melepaskan sesuatu dengan tingkat emosi dan perasaan yang balance. Tak duka berlebihan tak marah tak menyesal ketika kehilangan, tak gembira berlebihan tak jumawa.
Sepuluh ribu di kantong, bisa saja sama nilainya dengan sejuta. Makan di pingir jalan, bisa saja sama nilainya dengan makan di hotel berbintang lima. Sendiri atau ditemani, pergi atau ditinggalkan, dikhianati atau dicintai. Hati saya akan baik-baik saja karena semua perasaan dan kejadian dan kepemilikan hanyalah titipan. Taka ada sesuatu hal pun abadi adanya.
Alhamdulillah, syukur puji tuhan. Kelas itu telah membentuk pribadi saya yang baru. Kesederhanaan, karena tak ada yang sesungguhnya rumit. Keindahan, karena semuanya indah.
Saya ingin berganti level dan kini mulai memasukinya. Perubahan tak saja untuk saya, namun juga untuk lingkungan sekitar saya. Dengan terus membawa sertifikat tawakkal yang pernah saya menangkan sebelumnya,
Selama saya mengikuti kelas sebelumnya, saya betul-betul mengisolasi diri. Saya hampir melepaskan semua kegiatan yang menyita waktu. Prioritas saya bekerja. Maka dari pagi hingga malam bahkan akhir pekan, saya dedikasikan diri untuk bekerja. Tak apa, saya memang senang melakukannya.
Saya merasa tak perlu begitu lagi. Kelas yang saya masuki berikutnya adalah kelas kembali menyibukkan diri dengan sejumlah kegiatan dari pagi hingga malam bahkan akhir pekan namun untuk kegiatan yang berbeda. Saya bekerja, mengajar, dan memotret. Bekerja dari pagi hingga sore selama Senin hingga Jumat. Sore hingga malam saya mengajar di sejumlah universitas. Akhir pekan saya memotret. Walaupun masih berupa wacana, satu persatu persiapan sudah saya mulai. Konstruksi telah dipancangkan.
Persoalan utama adalah manajemen waktu. Waktunya saya bekerja, saya bekerja. Memanfaatkan waktu, pikiran, tenaga, dan kesempatan hanya untuk bekerja. Mendorong diri saya hingga batas optimal kemampuan. Waktunya mengajar dan memotret pun demikian. Satu persatu saya deskripsikan strategi dan taktiknya. Saya perlu membuat blue print baru.
Saya tak bisa memilih mana yang menjadi prioritas lagi. Bukan tak ingin. Saya memang tak bisa. Saya mestinya paham betul memperlakukan mood saya yang sering berubah, talenta saya yang berlebihan, dan konsentrasi saya yang juga mudah blur.
Inilah yang saya sebut move to other level.
Kelas tawakkal berisi pelajaran-pelajaran tentang bagaimana menerima dan melepaskan sesuatu dengan tingkat emosi dan perasaan yang balance. Tak duka berlebihan tak marah tak menyesal ketika kehilangan, tak gembira berlebihan tak jumawa.
Sepuluh ribu di kantong, bisa saja sama nilainya dengan sejuta. Makan di pingir jalan, bisa saja sama nilainya dengan makan di hotel berbintang lima. Sendiri atau ditemani, pergi atau ditinggalkan, dikhianati atau dicintai. Hati saya akan baik-baik saja karena semua perasaan dan kejadian dan kepemilikan hanyalah titipan. Taka ada sesuatu hal pun abadi adanya.
Alhamdulillah, syukur puji tuhan. Kelas itu telah membentuk pribadi saya yang baru. Kesederhanaan, karena tak ada yang sesungguhnya rumit. Keindahan, karena semuanya indah.
Saya ingin berganti level dan kini mulai memasukinya. Perubahan tak saja untuk saya, namun juga untuk lingkungan sekitar saya. Dengan terus membawa sertifikat tawakkal yang pernah saya menangkan sebelumnya,
Selama saya mengikuti kelas sebelumnya, saya betul-betul mengisolasi diri. Saya hampir melepaskan semua kegiatan yang menyita waktu. Prioritas saya bekerja. Maka dari pagi hingga malam bahkan akhir pekan, saya dedikasikan diri untuk bekerja. Tak apa, saya memang senang melakukannya.
Saya merasa tak perlu begitu lagi. Kelas yang saya masuki berikutnya adalah kelas kembali menyibukkan diri dengan sejumlah kegiatan dari pagi hingga malam bahkan akhir pekan namun untuk kegiatan yang berbeda. Saya bekerja, mengajar, dan memotret. Bekerja dari pagi hingga sore selama Senin hingga Jumat. Sore hingga malam saya mengajar di sejumlah universitas. Akhir pekan saya memotret. Walaupun masih berupa wacana, satu persatu persiapan sudah saya mulai. Konstruksi telah dipancangkan.
Persoalan utama adalah manajemen waktu. Waktunya saya bekerja, saya bekerja. Memanfaatkan waktu, pikiran, tenaga, dan kesempatan hanya untuk bekerja. Mendorong diri saya hingga batas optimal kemampuan. Waktunya mengajar dan memotret pun demikian. Satu persatu saya deskripsikan strategi dan taktiknya. Saya perlu membuat blue print baru.
Saya tak bisa memilih mana yang menjadi prioritas lagi. Bukan tak ingin. Saya memang tak bisa. Saya mestinya paham betul memperlakukan mood saya yang sering berubah, talenta saya yang berlebihan, dan konsentrasi saya yang juga mudah blur.
Inilah yang saya sebut move to other level.