Skip to main content

Peace I Belong

Salah satu hal yang selalu saya idamkan adalah tidak menyimpan kebencian dalam hati kepada sesiapa pun. Tak ada pentingnya, bukan?

Ketika suatu ketika saya berhenti dari tempat saya bekerja dan pindah ke perusahaan pesaing, saya mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Mantan boss saya melarang semua karyawan berhubungan dengan saya. Jika ternyata ada yang melakukan, akan dipecat tanpa pesangon. Masuk akal kalau dia geram. Sebagai seorang Sales Person, saya memegang banyak client potensial.

Saya marah karena merasa diperlakukan tidak adil. Kenapa harus begitu? Saya bersikukuh bahwa apa yang saya lakukan adalah benar. Keputusan saya adalah hak azasi saya.

Waktu berjalan. Kemarahan dan kekecewaan, kepasrahan dan kegelisahan datang dan pergi, turun dan naik emosi saya jika mengingat bagaimana perusahaan tempat saya pernah bekerja bertindak.

Waktu terus berjalan. Sesuatu yang arif menjalari pikiran dan hati.

Lalu saya kembali berhenti bekerja dan pindah ke perusahaan yang jenis usahanya berbeda sama sekali. Mantan boss saya tiba-tiba menelpon. Rupanya kabar cepat tersiar.

Dia mulai mengajak bicara. Awalnya soal pekerjaan, nostalgia tentang kemarahan dia dulu. Saya mendengarkan. Sekaligus saya juga menumpahkan kekesalan yang pernah saya alami. Impas. Bahkan dia menawari pekerjaan lagi. Entah serius, entah basa-basi, saya melihatnya adalah itikad baik bahwa dia telah membuka hati.

Pelan tapi pasti. Waktu tak berhenti. Tahun berganti. Komunikasi terus berlanjut. Kemarahan telah dikuburkan, yang tinggal saling kemengertian.

Hari ini saya bahagia sekali. Sebuah reuni kecil dengan para sahabat di tempat saya bekerja dulu baru saja terselenggara. Tentu saja dengan sepengetahuan si boss itu. Damai sekali di hati. Saya percaya, bukan saya satu-satunya yang merasakan kedamaian ini.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.