Salah satu hal yang selalu saya idamkan adalah tidak menyimpan kebencian dalam hati kepada sesiapa pun. Tak ada pentingnya, bukan?
Ketika suatu ketika saya berhenti dari tempat saya bekerja dan pindah ke perusahaan pesaing, saya mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Mantan boss saya melarang semua karyawan berhubungan dengan saya. Jika ternyata ada yang melakukan, akan dipecat tanpa pesangon. Masuk akal kalau dia geram. Sebagai seorang Sales Person, saya memegang banyak client potensial.
Saya marah karena merasa diperlakukan tidak adil. Kenapa harus begitu? Saya bersikukuh bahwa apa yang saya lakukan adalah benar. Keputusan saya adalah hak azasi saya.
Waktu berjalan. Kemarahan dan kekecewaan, kepasrahan dan kegelisahan datang dan pergi, turun dan naik emosi saya jika mengingat bagaimana perusahaan tempat saya pernah bekerja bertindak.
Waktu terus berjalan. Sesuatu yang arif menjalari pikiran dan hati.
Lalu saya kembali berhenti bekerja dan pindah ke perusahaan yang jenis usahanya berbeda sama sekali. Mantan boss saya tiba-tiba menelpon. Rupanya kabar cepat tersiar.
Dia mulai mengajak bicara. Awalnya soal pekerjaan, nostalgia tentang kemarahan dia dulu. Saya mendengarkan. Sekaligus saya juga menumpahkan kekesalan yang pernah saya alami. Impas. Bahkan dia menawari pekerjaan lagi. Entah serius, entah basa-basi, saya melihatnya adalah itikad baik bahwa dia telah membuka hati.
Pelan tapi pasti. Waktu tak berhenti. Tahun berganti. Komunikasi terus berlanjut. Kemarahan telah dikuburkan, yang tinggal saling kemengertian.
Hari ini saya bahagia sekali. Sebuah reuni kecil dengan para sahabat di tempat saya bekerja dulu baru saja terselenggara. Tentu saja dengan sepengetahuan si boss itu. Damai sekali di hati. Saya percaya, bukan saya satu-satunya yang merasakan kedamaian ini.
Comments