Skip to main content

Pilihan yang Ditentukan

Kita dibuat percaya bahwa hidup memang penuh pilihan. Kita lapar, tinggal pilih mau makan apa? Kita lelah, tinggal pilih bentuk istirahat seperti apa. Kita juga bebas memilih dengan siapa kita berteman, saluran TV mana yang hendak kita tonton. Hidup benar-benar penuh pilihan.

Namun betulkah demikian? Jika hidup penuh pilihan, menjadi kalah, menjadi miskin, berwajah buruk, berotak bodoh, dan lain-lain itu, apakah juga sebuah pilihan?

Bagaimana jika yang selama ini kita kira pilihan itu sesungguhnya adalah sebuah ketentuan? Kita menang dari sebuah kompetisi karena memang telah ditentukan kemenangannya. Kita kaya juga telah tertentu berapa banyak kekayaan kita.

Saya mulai percaya, bahwa kita hidup sebertulnya tidak pernah diberi pilihan sama sekali. Jika pun sesekali kita memilih menu makan siang hari ini atau film apa yang hendak kita tonton midnight nanti, sesungguhnya tanpa kita sadari telah ditentukan juga. Sesuatu yang besar di luar sadar kita mengarahkan kita untuk berkeputusana. Karena setelah kita memilih sop ikan tude yang pedas, kita sudah dijanjikan sakit perut hingga berhari-hari. Setelah kita menonton Superman, kita terobsesi untuk mengoleksi pernak-pernik yang berhubungan dengan tokoh komik itu. Kita telah ditentukan untuk memilih apa.

Satu hal yang kita lakukan sekarang, akan berpengaruh dengan hal-hal lainnya di seluruh semesta ini. Semua hal yang kita lakukan kemarin, sekarang, atau lima menit yang akan datang, pasti punya alasan tertentu yang berhubungan dengan kelangsungan semesta raya. Kita hanyalah atom dalam atom dalam atom.

Anda mau memutuskan pacar Anda karena sudah tak mencintai dia lagi? Tak akan pernah ada waktu yang tepat. Karena dampak apapun yang akan terjadi, sesungguhnya telah ditentukan bentuknya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.