Resmilah menjadi tersangka orang-orang di balik kemunculan majalah Playboy Indonesia. Mereka antara lain pihak redaksi dan model yang tampil di sana.
Herannya, para pengiklan, distributor, dan bahkan konsumennya tidak diganggu gagut. Padahal kalau mau mengambil analogi bahwa PB adalah barang yang haram untuk diperjualberlikan, mestinya dari hulu hingga hilir semua pihak yang terlibat memiliki motif untuk bisa diperkarakan. Seperti juga narkoba, apa hanya produsennya saja yang kena ancaman bui?
Namun bagaimana pun, pihak pelapor yang terdiri dari orang-orang kasar yang tak memiliki konsistensi, hanya melaporkan dua pihak di atas saja. Herannya, pihak kepolisian dan pengadilan mau-mau saja menanggapi.
Jika melihat fakta, PB yang dilaporkan ke pihak kepolisian sejak majalah tersebut belum terbit, mestinya kasusnya menjadi gugur setelah terbukti bahwa isi dari majalah tersebut yang dikuatirkan akan berisi gambar-gambar tak senonoh itu ternyata tak tampil vulgar. Seperti kita tahu, isi majalah-majalah pria lain lebih.
Hanya buang-buang waktu dan tenaga. Bayangkan, pakar hukum mana yang bisa menjelaskan pasal yang bisa menjerat para redaksi dan model itu? Pornografi seperti apa yang dimaksud? Jika para tersangka masih berani mengambil tantangan, karena mereka percaya bahwa mereka tak akan pernah bisa dihukm karena perbuatan mereka yang 'biasa-biasa' saja.
Pengadilan digelar sekedar untuk menyenangkan segelintir orang saja. Seperti pertunjukan boneka. Esensi sesungguhnya dari akar perjuangan pihak pelapor menjadi jauh. Tak masuk akal dan memalukan pihak kepolisian dan pengadilan itu sendiri.
Mestinya pihak pelapor tak gegabah bertindak. Akan terlihat lebih cerdas dan intelek jika mereka justeru sebaiknya menuntut lembaga yang memberi ijin majalah tersebut terbit di Indonesia.
Comments