Skip to main content

She Flash Cologne: She is So Rude

Pernah lihat TVC Sunsilk versi anak sekolahan (cewe-cewe) dan ibu gurunya yang segar itu? Iklan ini mengkampanyekan Sunsilk Class. Ya, urusan ceweklah.

Ide membawa suasana kelas ke TVC belakangan ini, muncul juga di TVC She flash cologne. Para siswi tampak exited menggunakan cologne tersebut. Saking exitednya, sampai-sampai sang guru (kalo dilihat dari porfile-nya, mestinya sudah pensiun) kewalahan berkonsentrasi untuk menulis soal-soal aljabar di papan tulis.

Jadi ingat masa sekolah dulu ngerjai guru di kelas. Ingat film-film Rano Karno.

Belakangan ini, saya terlibat dalam pembuatan video dokumentasi tentang guru. The real guru, bukan guru dalam film atau iklan. Dalam sebuah kegiatan yang diikuti oleh guru dari berbagai provinsi di tanah air, saya mendengarkan kesaksian mereka tentang karir sebagai guru dan standar hidup yang harus mereka jalani.

Miris sekali. Anda semua tahu, berapa gaji yang mereka terima setiap bulannya. Apalagi untuk gaji guru honor. Please, deh. Anda bakal menyesal bertanya jika mereka menjawab jujur.

Lalu saya kembali melihat TVC She. Duh, Gusti. Mungkinkah TVC tersebut ditarik?

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.