Suatu hari serombongan crew acara tv bertema religius meminta saya untuk diwawancarai mengenai sejumlah hal: Apa itu surga? Siapa saja yang bisa masuk surga?
It was synchronicity. Saya memang sudah lama ingin berpendapat tentang bagaimana orang bisa masuk surga setelah kematian. Namun setiap kali saya dihadapkan dengan monitor komputer, saya malah selalu menulis tentang hal lain. Jadi ketika saya disodorkan pertanyaan semacam itu, saya tak perlu lagi berpikir lama. Semuanya sudah ada di ujung lidah.
Saya beranggapan bahwa surga itu adalah segala sesuatu yang berada dalam pikiran dan hati kita. Bagaimana kita memberi nilai atau value terhadap segala sesuatu yang kita miliki dan rasakan. Surga adalah label yang bisa kita pasang terhadap hal apapun.
Surga adalah rasa syukur. Siang yang panas dan terik bisa kita namai surga. Kita hadapi saat itu dengan rasa nikmat dan kegembiraan. Tak ada waktu untuk mengeluhkan yang sedang kita hadapi, apalagi mengeluhkan yang belum terjadi. Terlebih mengeluh untuk sesuatu yang telah berlalu. Saat itu sedang terik panas, itulah rasanya surga.
Saya pernah berada di tengah cuaca badai, hujan, suhu dingin yang membekukan dan saat itu saya berharap cuaca panas. Saya kira, saya akan menggerutu bahwa saya sedang berada di neraka. Namun ketika saya menghadapinya dengan syukur bahwa saya diberi kesempatan mengalami pengalaman itu, saya melihat surga juga ada di sana.
Semua orang diundang untuk masuk surga. Namun tidak semua orang bisa masuk ke dalamnya. Hanya orang yang berhasil memberi jarak dengan duniawilah yang bisa. Jika saya hingga saatnya mati nanti masih memiliki kekuatiran dengah hal-hal yang berhubungan dengan dunia: kuatir kehilangan harta, harta yang saya cari tak juga mencukupi, kuatir disakiti dan berpisah dengan orang-orang yang saya cintai, kuatir akan masa pension yang belum tentu usia saya sampai di sana, hutang yang tak kunjung terbayar…: maka surga belum bisa akan menerima saya.
Saya harus memberesi dulu semua urusan itu hingga saya tak terikat pada apapun. Saya mencintai kekasih, anak, ibu, kakak adik, sahabat, rumah bagus, peralatan fotografi yang lengkap, karir yang cemerlang... namun dengan suatu kesadaran penuh bahwa tak ada sesuatu pun yang kekal bisa kita miliki. Menyadari bahwa dari tiada akan kembali ke tiada.
Bagaimana saya bisa masuk surga jika nama saya masih tercantum dalam daftar nasabah pencicil KPR? Saya juga masih kuatir akan ditinggalkan kekasih saya. Saya juga kuatir tidak bisa membayar premi asuransi akhir bulan nanti. Saya juga masih punya kekuatiran akan ibadah saya, apakah khusyu apa tidak.
Hal yang perlu terus saya pelajari adalah untuk tidak mengkuatirkan apa pun.
Comments