And I am gonna be so crazy thinking why I so have no ideas for my life.
Apa yang akan Anda lakukan jika anda terlahir lalu tumbuh dengan begitu banyak talenta dan minat? Memilih salah satu saja dan melupakan yang lain? Atau menjalani semuanya?
Saya kecil sudah senang menggambar. Tanpa pendidikan khusus, kebisaan saya terus terasah. Saya sempat mendapat sejumlah penghargaan di bidang ini. Juara 2 melukis tingkat Bogor dan DKI yang diadakan Serikat Seniman Gelangang Remajan Bogor, juara 3 melukis yang diadakan PMI DKI, juara 1 karikatur yang diadakan sebuah surat kabar di Jakarta. Saya tak pernah mengikuti pendidikan khusus. Bakat ini turun dari Ibu yang memang pandai membuat sketsa.
Saya kecil senang menyanyi. Pernah menjadi juara pertama ketika mengikuti lomba antar sekolah waktu di sekolah dasar. Setiap pelajaran kesenian, guru-guru yang meminta saya menyanyi di depan kelas sering terkagum. Padahal saya merasa gemeter setiap kali berdiri di depan kelas. Ketika di SMP ada ekstra kurikuler vocal group, saya malah memilih kelas elektronic yang sama sekali tak bisa saya nikmati. Masuk SMA, saya diajak gabung menjadi vocalis band. Latihan sebegitu sering, ketika mendapat undangan manggung di SMA lain, saya memilih mundur. Entah apa yang ada di benak saya waktu itu. Pernah diseret teman-teman untuk mewakili kelas di Porseni sekolah, padahla saya tidak mendaftar. Karena terlambat datang dan nomor peserta tinggal satu, maka saya kebagian naik panggung sebagai peserta pertama. Lagu yang harus dinyanyikan baru saya ketahui ketika saya menaiki anak tangga panggung. Gagal total. Saya hanya menyanyikan dua bait dari tiga bait lagu yang seharusnya. Grogi, jadi lupa. Apalagi tepat di depan panggung, ada seorang kakak kelas yang saya taksir, tak berkedip memandang saya. Masuk kuliah, ada kesempatan untuk gabung dengan vocal group di Unit Kesenian Mahasiswa. Saya tidak memilihnya. Tapi untungnya saya sempat punya kenangan berapa tahun menjadi tim aubade kampus setiap kali wisuda. Gaudeamus igitus... Saya juga pernah ikut vocal group di kampung ketika ada panggung Agustusan. Sekarang menyanyi hanya di karaoke room atau di dalam mobil jika jalanan macet. Teriak keras-keras. Merdu? Sama sekali ngga.
Saya memilih latihan karate setiap Minggu pagi selama SMP dan ketika kelas pertama sekolah lanjutan atas. Empat tahun lebih berlatih, hanya sabuk kuning yang saya peroleh. Setiap kali ada ujian kenaikan tingkat, saya memilih untuk tidak mendaftar. Hey, ada apa di pikiran saya waktu itu?
Saya kecil, sangat menonjol di kelas bahasa Indonesia ketika giliran membaca sajak. Entah ilmu dari mana, cara baca saya dianggap yang paling baik. Masuk SMP, beberapa kali saya mengiktui lomba baca puisi tapi tak pernah menjadi juara. Ketika di SMA, guru bahasa saya pernah sangat marah ketika saat ulangan saya tertangkap basah sedang mencontek. Namun Ibu guru itu (lupa namanya)menjadi jinak ketika pada pertemuan berikutnya, saya mampu membuatnya terkesima saat saya berdiri di depan kelas membacakan puisi Chairil Anwar. Bukan hanya membaca, saya juga pandai mengartikan maksud dari setiap kalimat puisi. Bukan hanya punya Chairil, juga Rendra, Bachri, dll. Saya diajak mengikuti kontes baca puisi bahasa Inggris antar sekolah di kelas berikutnya. Namun ketika SMP, saya tak berani mengambil kesempatan untuk menjadi wakil sekolah di lomba baca puisi antar sekolah. Padahal sudah dipaksa. Menjelang masuk kuliah, ada lomba menulis dan baca puisi yang diadakan IPB. Saya menjadi juara. Lalu sejmlah piala saya dapatkan juga untuk tingkat Jakarta dan Tangerang.
Saya suka menulis. Karya saya banyak tesimpan di belasan buku harian yang saya tulis. Saya pernah menjadi juara menulis berita yang diadakan oleh PWI cabang Bogor. Ketika membuat skripsi, saya yang paling cepat selesai. Bahkan saya bisa membantu teman-teman lain. Saat bikin thesis pun demikian. Ide menulis tentang apa saja bisa datang kapan saja dan dimana saja. Saya selalu ingin jadi penulis. Saya ingin menulis fiksi atau buku kuliah atau catatan perjalanan atau apalah.
Waktu saya diterima di perguruan tinggi negeri, saya gembira bukan main. Tapi saya tidak memilih arkitektur, malah ekonomi. Sempat bosan dengan mata kuliahnya. Saya berpikir untuk pindah jurusan ke bahasa, misalnya. Namun tak saya lakukan. Beberapa tahun lulus, lalu bekerja, lalu terpikir untuk melanjutkan kuliah. Saya terpincut sama manajemen komunikasi. Bidang pekerjaan yang sekarang saya tekuni, tepat sekali. Sangat berhubungan dengan latar belakang pendidikan. Namun, ruang jiwa saya masih ada yang kosong tak terisi. Saya sedang mencari tahu kenapa dan dengan apa mengisinya.
Ketika pertama kali bekerja, saya paruh waktu di bidang marketing research. Menyenangkan. Ketika saya memulai menjadi karyawan penuh waktu, dilema muncul. Bertepatan dengan semester saya menulis skripsi. Tiga bulan pertama saya tak bisa membuat penelitian. Saya memutuskan untuk kembali menjadi karyawan paruh waktu sambil menyelesaikan kuliah. Selesai itu, mestinya saya membidik perusahaan periklanan. Saya bisa menjadi copy writer, bagian produksi, atau apalah yang berhubungan dengan bidang creative. Saya malah memilih menjadi salesman di sebuah pabrik.
Saya jatuh cinta pada fotografi beberapa tahun lalu. Saya mengambil kursus. Sebulan kursus, ikut pameran, foto saya laku dijual. Senang sekali. Lalu kursus lagi. Ikut pameran lagi. Foto saya laku juga dijual. Dimuat di koran-koran. Lalu pameran lagi, pameran lagi. Sejumlah permintaan foto dari berbagai kalangan, sempat menganggu pikiran saya untuk menjadi fotografer professional saja.
There's something about me and I know that is wrong.