Skip to main content

Grand Lembang, Grand Issue

Akhir-akhir ini gencar sekali email yang tersebar tentang testimoni negatif dari sejumlah tamu Grand Lembang hotel di Bandung.

Lalu pihak hotel memberi tanggapan. Kurang lebih seperti berikut:

ERRESA GRAND wrote

Wed, 23 Aug 2006 02:12:57 -0700

Sebelumnya kami mengucapkan terimakasih atas fwd millistnya. Berita yang ada di millist adalah tidak benar dan sangat mengada-ngada. Hal tersebut dapat dibaca dari rentetan berita yang berusaha di jelaskan oleh "oknum", di hotel manapun tidak ada client yang C/I di sodorkan hotel agrement bermatrai serta masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan dalam pemberitaan tersebut.

Hingga saat ini kami belum menemukan siapa pelaku dari semua ini serta apa maksud dan tujuan dari "oknum" tersebut. Apabila keinginan si "oknum" adalah untuk menjatuhkan nama baik hotel, maka sebisa mungkin kami dari management merasa tertantang untuk melakukan peningkatan pelayanan yang lebih baiklagi. Bahkan hingga saat ini Grand Hotel Lembang tetap mengalami kemajuan yang pesat baik dari sisi occupancy maupun omzetnya.

Disini kami lampirkan counter millist dari Management Grand Hotel Lembang beserta beberapa comment dari tamu yang menggunakan fasilitas Grand Hotel Lembang. Besar harapan kami kepada siapa saja yang menerima "berita miring" mengenai keamanan Grand Hotel Lembang dapat menyikapinya dengan bijaksana. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan banyak terimakasih.

Best Regard,

Management of Grand Hotel Lembang



Lalu saya beranggapan. Beberapa hal yang perlu dicermati dari kasus ini. Asumsi saya:

- Ketidakpuasan dari para tamu hotel atas ketidaknyamanan yang mereka alami ketika menginal di GL hotel, mungkin saja terjadi. Dengan sangat sederhana, mereka menulis email dan menyebarkannya dari email ke email atau dari email ke milis. Oleh penerima email tersebut, dikirim lagi ke email pribadi orang lain atau bahkan ke milis lain. Akhirnya menjadi 'snow ball' yang sulit dibendung. Sulit juga dipercaya akhirnya, apakah ini benar atau sekedar fitnah.
- Email tersebut, bisa juga ditulis oleh salah seorang karyawan yang kecewa oleh perlakuan manajemen. Sehingga ybs kemudian mengarang cerita bohong. atau mungkin kejadian tersebut tak pernah terekspos, lalu celah ini dimanfaatkan oleh karyawan yg kecewa tsb.
- Email disebarkan oleh pesaing, dengan tujuan untuk mencemarkan nama baik GL hotel.
- Email disebarkan, justeru oleh pihak GL hotel sendiri.

Bagaimana mungkin GL hotel sendiri yang menyebarkan issue tersebut?
bisa saja. Hal ini merupakan bagian dari strategi komunikasi yang mereka rancang. awalnya, menyebarkan seolah hotel ini bereputasi buruk. Padahal, tentu saja mereka tak punya bukti bahwa pernah ada kemalingan misalnya. Termasuk hal-hal remeh temeh lainnya yg mermang tak pernah berlaku di sana, seperti form tanda persetujuan tak akan mengklaim hotel jika ada barang hilang.

Setelah banyak orang terinformasi dengan yg buruk tadi, maka pihak hotel kemudian 'seolah-oleh' melakukan pembelaan diri. Mereka akan membantah issue tersebut. Pihak hotel dalam hal ini, telah tahu psikologi sosial masyarakat kita. Kita cenderung kasian dengan pihak-pihak yang teraniaya. Ujung-ujungnya, kita akan jatuh simpati pada pihak tersebut.

Masih ingat, betapa PDIP unggul pada pemilu beberapa tahun lalu setelah media memposisikan Megawati sebagai pihak teraniaya oleh kubu golkar? Masih ingat juga, ketika SBY terpilih menjadi presiden, ketika setting media mengagendakan beliau sebagai tokoh terainiaya oleh kubu Mega/Kiemas?

Sekarang, siapa yang tidak tahu GL hotel? It's great communciation, wasn't it?
mana yg kemudian paling anda percaya: Klarifikasi dari pihak hotel atau issue antipositif dari pihak yg kecewa terhadap layanan hotel?


Ah, kumaha damang....

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.