Skip to main content

Korupsilah, Celakakan Keluargamu!

Rasanya sudah banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengkampanyekan 'hentikan korupsi'. Korupsi adalah pencurian, korupsi adalah haram.

Belakangan saya membaca sebuah email yang menilik korupsi dari sudut yang berbeda: hukum kekekalan energi. Jika kau nafkahi anak isterimu dengan uang korupsi, maka anak-anakmu akan menjadi rusak. Menakutkan, bukan? Saya rasa ide ini bisa disosialisaikan lewat berbagai ceramah di setiap pertemuan, dakwah di perkumpulan pengajian, saat sembahyang Jumat, termasuk ceramah para pendeta.Karena korupsi dilakukan oleh siapa saja!

Saya ingat komentar Ibu saat saya kecil. Ada tetangga-tetangga beranak banyak yang setiap saat membuat seisi kampung gempar. Sebentar-sebentar anak lakinya menghamili perawan orang, sebentar-sebentar anak perempuannya dihamili oleh anak lelaki orang. Ibu saya bilang, nafkah yang diberikan bapak-bapak mereka tak berkah karena hasil korupsi. Saya selalu menyimpan komentar Ibu di lubuk hati yang paling dalam.






















Waktu kecil dulu, saya sedemikian percayanya. Ketika saya beranjak remaja, saya menilai komentar Ibu hanya asbun (asal bunyi). Tentu saja banyak faktor yang membuat anak-anak tetangga itu tak bisa menjaga diri. Namun ketika saya mulai dewasa, saya merasa yakin bahwa yang dikata Ibu benar.

Saya diberi kepercayaan memegang sebuah jabatan, baik di perusahaan tempat saya bekerja maupun dalam organisasi yang saya ikuti. Saya kadang punya kesempatan melakukan improvisasi dengan segala urusan 'proyek' atau marketing fee. Seorang sahabat pernah bilang, kenapa saya tidak melakukan mark up untuk sejumlah biaya? Saya katakan tidak mau. Alasan saya, karena saya masih memberi dukungan keuangan buat Ibu dan adik-adik saya.

Saya tak ingin orang-orang yang saya cintai celaka.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.