Skip to main content

Militer Kita Anti Hukum

Menumpang taksi dari arah selatan Jakarta menuju pusat. Melalui jalan Sudirman, Thamrin, ke arah Kebon Sirih. Salah satu jalan terbaik adalah memutar balik di jalan Medan Merdeka Barat. Namun sopir taksi tua yang menyetir, memilih belok kanan dari bunderan air mancur patung kuda.

Menurutnya, ia mengikuti mobil sedan merah yang duluan belok. Saya hanya bisa bilang, berdoa saja semoga tak ditilang. Memutar balik, atau belok kanan di area itu terlarang hingga jam 7pm.

Saat lampu menyala hijau, betul saja. Taksi diberhentikan oleh polisi. Saya melihat sedan merah butut di depan juga diberhentikan. Lewat kaca mobil yang transparant, saya melihat seorang tentara berseragam hijau duduk menyetir sendiri.

Ada dua polisi muda yang bertindak. Pertama yang menghentikan taksi, kedua yang menghentikan sedan merah butut dengan seorang tentara berseragam hijau di dalamnya. sedan merah berhenti, tapi tak lama jalan lagi. Saya melihat polisi kedua memberi hormat dengan sikap tegap yang berlebihan.

Sama melihat dua buah kasus yang harusnya memberatkan tentara di sedan merah itu, tapi nyatanya lolos. Gumam saya, jika polisi pertama melakukan tilang ke taksi yang saya tumpangi, saya akan protes.


Maka, taksi pun aman. SIM dikembalikan, kami dipersilakan pergi.

Kasus yang bisa memberatkan tentara bersedan merah butut itu adalah dia mengendarai sendiri sedannya tanpa penumpang. Padahal seperti yang kita tahu, Thamrin-Medan Merdeka Barat adalah kawasan 3 in 1!

Saya minta sopir taksi untuk tenang. Dia lalu mengeluarkan SIM yang diminta polisi pertama. Saya ceritakan ke polisi itu, kalau mau tilang taksi ini, sedan merah dengan tentara di dalamnya pun harus ditilang.

Saya tak terhibur ketika polisi muda bernama Adhi itu bilang, "Saya harus berlaku adil".

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.