Skip to main content

Mendadak Dangdut


Jika ingin nyaman mendengarkan lagu-lagu dangdut tanpa kuatir diusili oleh orang, tengoklah 'Mendadak Dangdut'. Dan bagaimana musik jenis ini hidup dan merasuki masyarakat gang senggol, Anda akan maklum.

Sangat menghibur. Semula, saya berpikir bahwa film ini akan mengingatkan saya pada 'Kejarlah Daku Kau Kutangkap'. Tapi rupanya tidak. Jika di film KDKK dangdut hanya sebatas musik latar. Pada MD, dangdut justeru menjadi suguhan utama.

Sayang, Titi Kamal yang menjadi tokoh sentral di film ini agak tampil maksa. Atau karena skenarionya yang memang belum matang? Bayangkan, jika Anda mendedikasikan hidup sebagai musisi, mulai dari menulis lirik dan menciptakan musiknya, Anda akan menyukai kegiatan dari hulu hingga hilir. Termasuk kegiatan tampil di muka umum. Baik panggung maupun on air radio, misalnya.

Namun yang digambarkan di MD, Patrice-tokoh yang dipernakan oleh Titi Kamal, sangat tidak suka beramah tamah. Bahkan dia sangat terlihat jutek ketika melakukan interview di radio, juga saat menjawab sejumlah pendengar radio tersebut.

Entah apa masalah perempuan asal Menado itu. MD tak menjelaskan dengan simbol apapun mengapa kemanjaan dan kekasaran Patrice bisa terbentuk.

Untungnya, kita masih bisa melihat Kinaryosih. Perempuan yang sehari-harinya berprofesi sebagai model ini berackting gemilang saya rasa. Walaupun agak bias juga. Bisa beradaptasi dengan lingkungan baru yang sangat berbeda dengan sangat cepat. Kedua kakak beradik ini terpaksa menjadi buron karena mobil yang mereka bawa dihentikan oleh polisi. Polisi yang sedang merazia kendaraan, mendapati 5 kg heroin milik pacar Yulia, yang diperankan oleh Kinar.

Kisah sederhana, mengalir secara sederhana, musik yang sederhana, namun tentu saja ide besar yang ada di belakang semua ini.

Hidup dangdut! Hidup jablai!

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.