Skip to main content

Gestapu: Gerakan Setan Putih



Setiap kali mendengar kata PKI, saya selalu geram. Bukan karena menurut sejarah selama ini partai tersebut pernah menorehkan sejarah hitam bangsa kita. Sebaliknya, saya justeru geram karena pemerintah orde baru telah mengkambinghitamkan partai komunis itu.

Luar biasa, sebuah rezim bisa sangat anthusias membinasakan ribuan rakyatnya dan menciptakan sejarah 'indah' nan palsu tentang sebuah perjuangan menyelamatkan negeri. Manusia-manusia dimusuhi, dipenjarakan, dibunuh, hanya karena perbedaan haluan. Tanpa ada pengadilan, tanpa ada pembelaan.

Terjungkalnya pemimpin Orde Baru telah membuka mata banyak pihak. Partai Komunis Indonesia, benarkah seperti yang disejarahkan kekejamannya? Maka setiap September tiba, wacana tentang PKI selalu berkibar.

Sebuah buku sejarah sekolah SD hingga SMA, kini diungkit oleh tim intelejen Kejaksaan Agung. Persoalannya, tak satu pun istilah PKI muncul. Malah diganti dengan nama 'Gerakan 30 September'. Tim intelejen ini merasa perlu mengulik 'kesengajaan' ini.

Saya belum pernah melihat apalagi membaca buku sejarah tersebut. Namun jika betul begitu keadaannya, saya sangat setuju. Mencantumkan nama PKI sebagai dalang Gerakan 30 September, hanyalah gerakan kembali mengaburkan sejarah masa lalu. Selama ini kita tak pernah tahu tentang aktor sesungguhnya di balik pemberontakan itu.Para petinggi kala itu, enggan bersaksi. Semua malah berkomplot bungkam. Takut, sungkan, enggan.

Jika Anda berkunjung ke toko buku, beragam buku yang mencoba menggali ulang peristiwa itu dengan banyak nara sumber baru, rekonstruksi, bukti, mauun wacana.

Saat ini sangat dibutuhkan orang-orang berjiwa besar untuk mengungkap fakta siapa sesungguhnya pihak yang sangat bertanggung jawab terhadap kerusuhan yang legendaris itu. Gestapu menjadi sebuah gerakan yang KAU TAHU SIAPA dalangnya. Namun tak satu pun pihak yang berani memperpengadilankan. Karena sesungguhnya, kita pun ingin sekali melupakan karena sedemikian menyakitkannya. Biarkan saja arwah hidup dan mati para pelakunya menjadi setan-setan putih tanpa jiwa untuk menebus dosa selama bermilyar tahun di alam pengembaraan.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.