Skip to main content

Melumuri 'KD'


Dalam sekejap, istilah TTM menjadi sangat populer di berbagai kalangan. Ulah duo Ratu yang menyanyikan lagu centil ini, telah menambah perbendaharaan kata dalam khazanah bahasa sehari-hari kita.

TTM, sebelum diklaim kependekan dari 'teman tapi mesra', di kalangan terbatas mungkin bisa dipanjangkan menjadi 'tri tunggal manikam', nama sebuah usaha. Atau 'tua-tua mesra', jika ingin maksa.

Menyingkat istilah atau nama, bisa jadi lebih mudah diingat dan berkonotasi baik. Saat kita sekolah dasar, guru-guru sering meminta kita menghafal istilah-istilah lembaga dunia maupun pemerintah. Bahkan soal-soal ulangan kadang hanya berisi apa kepanjangan dari singkatan-singkatan itu. Oh, guru-guru yang malas.

Para public figure, menyingkat nama mereka dengan berbagai alasan. Setidaknya agar mudah diingat. Yang paling penting, nama itu menjadi unik sebagai 'merek dagang'. Kita kenal J.Lo, OJ Simpsons, KD Lang, dan beberapa nama lain.

Di tanah air, kita tahu Titi DJ yang mengaku lebih populer setelah menyingkat nama belakangnya. Ada juga Wahyu OS, musisi tahun 80-an. OS di belakang merupakan kependekan dari nama aselinya, yakni Otong Sanusi. Atik CB memasang nama kelompok musiknya untuk CB.

Tahun 70-an, kelompok BIMBO menyanyikan karya lagu yang dalam teksnya, hanya berisi singkatan-singkat:
...
Ramako, remaja kolot
SAM, samsudin anak manja
Wakuncar, waktu kunjung pacar
...


Krisdayanti dengan bangga dan nyatanya berhasil, menyingkat namanya menjadi KD. Asosiasi orang, ingat KD, ya, hanya Krisdayanti seorang. Namun sedikit disayangkan jika istilah KD ini, telah diplesetkan oleh pil penambah darah Fatigon menjadi 'Kurang Darah'.

KD=Kurang Darah. Bagaimana keberhasilan istilah baru ini, apakah dapat mengungguli kepopuleran Krisdayanti? Apakah tim kreatif Krisdayanti akan keluar dari image 'KD' yang telah 'dilumuri' oleh Fatigon?


Mungkin kini saatnya orang-orang kreatif mulai memikirkan langkah-langkah kreatif untuk melindungi karya-karya mereka dengan mendaftarkannya ke lembaga merek. Seperti yang pernah dilakukan oleh Peggy Melati Sukma yang mendaftarkan istilah 'pusiiiing' kepada lembaga hukum.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.