Skip to main content

The Show I Watched: Miss Saigon

Berbagai cara dilakukan orang atau institusi untuk menancapkan image baik di benak masyarakat. Perguruan tinggi pun perlu berpromosi. Termasuk juga melakukan kegiatan PR.

Institusi tersebut adalah London School of PR. Tanggal 22-23 September lalu, mereka memanggungkan pertunjukan Miss Saigon. Tak tanggung-tanggung, lakon Miss Saigon ini diusung di Gedung Kesenian Jakarta. Kegiatan ini pun setidaknya turut menanamkan kebanggaan bagi para mahasiswanya terhadap kampus dimana selama ini mereka menuntut ilmu.




Untuk ukuran mahasiswa, pertunjukan tersebut lumayan baik. Para crew maupun para pemain terlihat bekerja keras untuk menampilakn karya terbaik mereka. Semua terdiri dari para mahasiswa LSPR. Tentu saja jangan bandingkan dengan pagelaran Teater Koma atau EKI Dance Company yang memang biasa malang melintang dari panggung ke panggung itu.

Tingkat kesulitan yang para pemain hadapi rupanya tak melulu soal acting, tapi juga menari, dan menyanyi secara live! Mereka bukan para profesional. Tapi melihat kesungguhan mereka, bukan mustahil jika kelak mereka bisa menjadi profesional panggung sungguhan.

Namanya ukuran mahasiswa, jadi mohon maklum jika stage management belum mereka kuasai dengan benar. Kekurangan itu antara lain terlihat pada perpindahan satu scene dengan scene lain, membuat penonton harus menunggu lama. Termasuk sound system yang sewaktu-waktu 'meghilangkan' suara pemain bahkan mengejutkan penonton karena tiba-tiba 'meledak'.

Bermain teater adalah salah satu ekstra kurikuler yang ada di lingkungan LSPR dibawah bendera Teatro London School. Secara berkala mereka tampil menampilkan beragam lakon. Miss Saigon merupakan produksi ketujuh setelah sebelumnya mementaskan Cinderella, Soud of Music, Beauty and The Beast, Grease, AIDA, dan CHICAGO.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.