Skip to main content

Dicari yang Mencari




Apakah saya sedang mencari pekerjaan baru?

Beberapa tahun lalu, ketika saya mengajukan surat pengunduran diri pada atasan, dia berujar: "Tak akan ada tempat bekerja yang lebih enak dari pada di sini, " katanya serius. Saya sangat sebal. Jelas tak mungkinlah. Menurut saya waktu itu, tempat baru selalu akan lebih baik dari tempat lama.

Lanjutnya, "Berpikirlah bahwa inilah pelabuhan terakhir dimana kamu bisa nyaman dan fokus pada pekerjaan." Saya menolak keras. Saya pikir, justeru saya harus selalu bersikap bahwa dimana pun dan kapan pun saya berada, bersikaplah untuk selalu siap 'mencari' pelabuhan lain.

Sangat perlu memiliki cita-cita.

Lalu di kantor lainnya, ketika saya pun berniat untuk melakukan perjalanan ke 'pelabuhan' lain, atasan saya bilang: "Dimana pun, bekerja itu akan selalu sama."

Saya dengarkan. Saya pikirkan supaya saya benar-benar bisa paham. Namun tidak.Ketika saya bicara kebutuhan, tak akan ada hal yang bisa menghibur saya. Ada hal yang rupanya lebih penting dari sekedar penampilan fisik: materi dan jabatan.

Lagi, saya ingin berada pada level yang berbeda dari sekedar level yang ada sekarang. Level baru yang penuh cahaya spiritual yang menentramkan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.