Skip to main content

Mimpi Nenek Tua

Ah, entah jam berapa. Mungkin jam 2 lewat. Saya biarkan jendela terbuka untuk medapatkan angin. Di luar sunyi. Menjelang pagi. Saya meneruskan pekerjaan yang sejak beberapa hari ini membunuh liburan lebaran saya. Hingga badan berasa kelu, Saya niatkan untuk istirahat sejenak.

Sambil menelungkup, saya giring pikiran kepada kondisi meditasi. Diawali oleh semburat-semburat cahaya, pandangan saya kemudian dilengkapi berbagai cuplikan gambar bergerak yang tak dapat saya kenali peristiwa-peristiwa apa. Hal-hal yang umum dialamai oleh orang-orang yang sedang bermeditasi. Guru meditasi saya bilang, itu kotoran meditiasi. Tak boleh dilekati.

Lalu saya kembali ke kesadaran awal. Selanjutnya, antara kesadaran dalam meditasi dan tidur, saya dibawa sesosok gaib yang tak terlihat. Terbang melintasi banyak ruang dan tempat-tempat asing. Tak ada kekuatiran. Saya membiarkan diri lepas dan menikmati sensasi petualangan.

Pada sebuah ruang yang lapang, ada sebuah dipan dengan sosok kurus berbaring diselimuti kain. Orang-orang yang mengerumuni, memberi saya ruang. Sosok tak terlihat itu membawa saya ke samping dipan. Rupanya seorang perempuan tua. Tapi tak terlihat kemerut di wajahnya. Saya kenal siapa dia. Bentuk wajahnya aneh. Mengingatkan saya pada cerita-cerita fiksi.

Masih dalam keadaan belum sadar dengan apa yang terjadi, nenek itu setengah bangkit memeluk saya. Berbisik:
"Satu mingu lagi, satu minggu lagi..."

Saya tak mengerti. Saya balik tanya: Apa maksudnya dengan satu minggu lagi? Akan ada apa satu minggu lagi? Tak terjawab.

Dalam hitungan seperkian detik, saya tersadar. Pesan itu begitu jelas. Penasaran itu semakin besar.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.