Skip to main content

Aceh Trip: The Biggest Pilkada


















Sehubungan dengan sebuah projek yang harus saya urus, saya kembali ke Aceh. Masih tentang Pilkada Aceh yang akan digelar 11 Desember mendatang. Pilkada Aceh ini dinilai acara demokrasi paling besar dibandingkan dengan acara serupa di provinsi-provinsi lain. Bayangkan, sebanyak 21 kabupaten/kota akan memilih gubernur, dan 19 kabupaten/kota memilih bupati/walikota secara serempak!

Selasa kemarin, mestinya wilayah Aceh sudah harus bebas dari atribut kampanye. Namun di sejumlah titik, poster, billboard, umbul-umbul, spanduk, masih saja terpampang.

Ada delapan pasang calon gubernur dan wakil yang lolos seleksi dan akan berlaga di ajang Pilkada. Satu pasang calon gubernur dan wakil adalah mantan anggota GAM. Pasangan lain, ada yang wakil gubernurnya juga mantan anggota GAM.

Di kepala saya selama ini, anggota GAM itu terkesan para gerilyawan dekil berbadan kurus tak terurus. nyatanya, para anggota GAM itu well educated dan memiliki jabatan penting di tengah masyarakat.

Saya bertemu salah seorang petinggi ABRI, bertanya bagaimana jika mantan anggota GAM terpilih. Katanya, ini demokrasi. Jika itu yang dikehendaki oleh masyarakat, maka itulah kejadiannya. Tak ada yang perlu dikuatirkan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.