Tergolong pedagang kaki lima, warung kopi di Aceh sangat khas. Jika di daerah lain seperti di Jakarta, kita menyebutnya warung tenda. Para pedagang tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan berkelompok. Menempati lapangan atau parkiran luas. Semakin banyak pedagangnya, akan semakin seru. Para pedagang berjajar mengelilingi lapangan atau sekedar berbaris saja, sementara tempat duduknya di atur rapi berbaris-baris. Konsumen akan menikmati hidangan dan kopi dengan duduk pada kursi plastik yang desainnya seragam berkaki pendek. Satu meja, dilengkapi empat buah kursi. Warung-warung model gerobak ini, biasanya buka pada malam hari dengan atau tanpa atap.
Walau namanya warung kopi, namun mereka tak melulu menyediakan kopi khas Aceh, tapi juga makanan dan minuman lainnya. Sayang saya tidak mengkonsumsi kopi, maka tidak penasaran untuk merasai kopi yang katanya lezat itu.
Jika udara cerah, duduk santai di bawah cahaya bintang dengan semilir angin malam, memang asoy untuk mengobrol bersama tetangga atau rekan-rekan. Warga Aceh sangat menyukai sosialisasi bentuk begini. Makanya ketika baragam program komunikasi pasca tsunami digalakkan, banyak aktivitas yang memanfaatkan warung kopi sebagai medium.
Comments