Skip to main content

Warung Kopi di Aceh


















Tergolong pedagang kaki lima, warung kopi di Aceh sangat khas. Jika di daerah lain seperti di Jakarta, kita menyebutnya warung tenda. Para pedagang tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan berkelompok. Menempati lapangan atau parkiran luas. Semakin banyak pedagangnya, akan semakin seru. Para pedagang berjajar mengelilingi lapangan atau sekedar berbaris saja, sementara tempat duduknya di atur rapi berbaris-baris. Konsumen akan menikmati hidangan dan kopi dengan duduk pada kursi plastik yang desainnya seragam berkaki pendek. Satu meja, dilengkapi empat buah kursi. Warung-warung model gerobak ini, biasanya buka pada malam hari dengan atau tanpa atap.

Walau namanya warung kopi, namun mereka tak melulu menyediakan kopi khas Aceh, tapi juga makanan dan minuman lainnya. Sayang saya tidak mengkonsumsi kopi, maka tidak penasaran untuk merasai kopi yang katanya lezat itu.

Jika udara cerah, duduk santai di bawah cahaya bintang dengan semilir angin malam, memang asoy untuk mengobrol bersama tetangga atau rekan-rekan. Warga Aceh sangat menyukai sosialisasi bentuk begini. Makanya ketika baragam program komunikasi pasca tsunami digalakkan, banyak aktivitas yang memanfaatkan warung kopi sebagai medium.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.