Skip to main content

ingin berbicara empat mata dengan ibu

dengan ibu ingin berbicara dengan ibu sekedar menjelajah di kantung pikirannya
agar bisa tahu apa rencananya
membaca pikiran ibu seperti memasuki rimba tak bernama
menyusuri belukar aturan dan rimbunan tabu di tiap tikungannya
memasuki pikiran ibu seperti memasuki kampung dengan
kepala suku di tiap jengkalnya
tentang hasrat dan penggalan kebutuhan dengan kata dengan ekspresi dengan intonasi dengan wajah yang lama dia kenali
tapi aku kuatir ibu tidak mengerti bahasaku;
karena berbilang tahun telah menumbuhkan beribu kata baru
karena jarak bumi semakin mendekatinya

kadang aku ke utara ibu ke timur kadang aku abu ibu biru laut
ingin aku berbicara empat mata dengan ibu agar segala bentuk perbedaan bukan durhaka dan aku masih percaya bahwa surga masih ada di telapak kakinya
anak perawanku mengandung dan aku linglung

anak perawanku mengandung dan aku linglung
serasa membubur tulang di sekujur tubuh
tak hingga udara di paru-paru
anak perawanku mengandung dan aku malu
berapa tinggi wajah dapat kutengadahkan
berapa lebar jendela rumah dapat kubentangkan
anak perawanku mengandung bumiku pilu
langit sewarna jelaga mentari terkubur perdu
betapa indah kado yang kau berikan padaku gusti
betapa istimewa derajat kau limpahi

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.