Skip to main content

Barrack Obama


Saya bukan penonton TV, bukan pembaca surat kabar, kecuali week end. Saya sepertinya selalu tertinggal dengan berita-berita terkini. Kecuali berita tersebut kemudian jadi ramai, baru saya mencari tahu lebih dalam lewat internet atau sengaja membeli surat kabar atau sengaja menunggu news program di tv atau bertanya sama teman.

Belakangan di banyak situs internet orang-orang ramai menulis tentang Barrack Obama. Saya pikir hanya seorang negro yang sedang terkena kasus. Tapi suatu pagi saya baru terpancing untuk tahu lebih banyak tentang pria itu setelah detikom menulis panjang lebar tentangnya.

Oh, ternyata.

Di Amerika, bahkan di dunia, Obama sedang ramai menjadi perbincangan. Ia yang mengusung bendera Partai Demokrat, tampil di panggung politik setelah pada pemilihan sela, Obama mencuri perhatian banyak warga AS. Entah apa keistimewaannya. Mungkin seperti yang banyak ditulis orang, ia punya kharisma. Karena dukungan yang berlimpah itu, Obama terpikir
untuk mencalonkan diri jadi presiden AS di tahun 2008 mendatang. Well, masih banyak waktu untuk persiapan, juga untuk gugur.

Hal menarik dari Obama, bahwa masa kecilnya pernah dijalaninya di Jakarta. Ya, di Indonesia! Bahkan ibunya menikah dengan seorang pria aseli Indonesia.

Sebagian jurnalis dunia, khususnya AS, sedang ramai menulis tentang Obama dan masa lalunya. Mereka ramai-ramai mengaitkan Obama dengan hal-hal keislaman. Katanya, Obama pernah bersekolah di sebuah madrasah. Di kepala orang barat, madrasah adalah tempat belajar agama Islam kaum militan.

Tiba-tiba sebuah dukungan dalam hati saya menyeruak. Obama harus jadi presiden AS! Penting sekali. Pengalaman dia tinggal di sebuah negeri muslim yang masyarakatnya cinta damai, saya yakin dapat mempengaruhi pola kebijakan dan pikiran-pikiran AS. Memang seharusnya, warga AS bosan dengan kebijakan politik luar negeri para pemimpinnya yang cinta peperangan.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.