Skip to main content

Memanjat Pohon!

Bapak saya baru saja membeli petak tanah di belakang rumah. Sebuah kebun pisang dengan kandang kerbau. Dan sebuah pohon jambu air di atasnya! Sepulang sekolah saya kerap memanjat pohon itu meskipun pohon tersebut tak berbuah. Tapi struktur batang pohon itu tak enak buat dipanjat. Ketika Bapak menebang pohon itu karena lahannya mau dijadikan kandang itik, saya tak sedih sama sekali.

Di dekat rumah, ada sebatang sungai yang mengalir. Sungai tersebut sangat besar. Di sepanjang sungai, banyak tumbuh pohon besar. Kami menyebutnya solastri. Meskipun pohonnya besar sepelukan, buahnya kecil-kecil. Berwarna hijau jika masih mentah, hitam jika sudah matang. Saya dan kawan-kawan sering memanjat pohon tersebut. Harus sangat hati-hati. Ada seorang anak yang karena tidak hati-hati, pernah terjatuh dari sebuah ketinggian. Buta, tubuhnya jadi abnormal, kepalanya sempat terbelah. Hidup mandiri dengan serba kesulitan untuk bergerak, beberapa tahun kemudian meninggal yang saya tak tahu penyebabnya apa.

Kami tak membawa pulang buah-buah kecil tersebut. Kami memakannya di atas pohon. Jika ada anak-anak perempuan yang ikut, mereka akan menunggu di bawah dan anak-anak lelaki menjatuhka sebagian buah hasil petikan.

Di samping rumah, Bapak pernah menanam pohon jambu air. Jika berbuah, sangat banyak. Merah dan manis. Sepulang sekolah, saya akan membawa sepiring kecil garam dan memanjat pohon tersebut. Saya akan makan jambu air sambil mencocolnya dengan garam. Di pohon ini pun mesti hati-hati. Bukan karena takut jatuh, pohon ini tak terlalu tinggi. Bahkan sebagian daunnya menyentuh tanah. Jika malam, pohon jambu ini jadi tempat ayam berteduh. Pada banyak batangnya, sering kali ditemui sisa kotoran ayam. Suatu hari Bapak menebang pohon itu karena Bapak akan mengembangkan tanaman jambu Bangkok.

Di sisi lain rumah, ada pohon pepaya yang tinggi sekali. Bahkan lebih tinggi dari atap rumah. Pohon ini sering kali berbuah banyak. Hampir setiap minggu ada saja pepaya yang matang. Jika dibiarkan, akan dimakan codot. Maka memanjat pohon ini menjadi bagian dari rutinitas saya. Karena sangat tinggi dan batangnya licin, saya perlu memanjat genteng rumah dulu. Setelah di petik, pepaya tinggal saya lemparkan saja ke bawah. Saya tidak perlu kuatir pepaya akan rusak karena dijauhkan sembarangan karena saya menjatuhkannya tepat ke kolam ikan di yang di dekat pohon. Pernah suatu kali saya menunda memetik pepaya. Mungkin ada dua atau tidak. Dari bawah sudah terlihat matang. Ketika suatu pagi saya dikagetkan oleh banyak telapak kaki orang dewasa di sekitar batang pohon. Saya melongok ke atas, buah-buah itu sudah lenyap!

Seratus meter dari rumah, ada sekitar satu per empat kebun yang Bapak beli ketika saya sangat-sangat kecil. Di sepanjang pematang, Bapak menanam banyak pohon berkayu. Mangga, durian, buni, salam, jambu bol, kedondong. Salah satu pohon mangga yang tumbu tinggi, letaknya di paling bagian belakang. Di belakang kebun, terhampar sawah yang luas. Di sebelah selatan, sangat jelas terlihat gunung Salak. Sambil membawa buku cerita yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah, saya akan sangat menikmati sisa-sisa hari. Sambil menunggu sore waktunya menyirap palawija yang Ibu saya tanam.

Saya bersekolah di Sekolah pemerintah. Ada dua pohon jambu air putih di halaman sekolah. Siapa saja boleh memanjat pohon tersebut jika bisa dan berani. Tak pernah ada larangan dari guru. Saya akan memanjat pohon tersebut jika sekolah sepi. Misalnya jika sore ada kelas tambahan. Pohonnya tinggi, buahnya banyak dan manis. Tapi banyak semut merahnya.





Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.