Akhir semester dan saya merasa perlu mendapatkan komentar dari mahasiswa yang saya ajar mengenai saya dan mata kuliah yang saya bawakan. Saya bagikan selembar kertas kepada setiap mahasiswa. Saya minta mereka membuat lipatan pada kertas itu. Pada lipatan pertama, saya minta mereka menuliskan nama masing-masing. Saya minta para mahasiswa untuk menggeser kertas yang bernama itu ke teman di sebelahnya. Sekarang, tiap mahasiswa memegang kertas yang bukan atas namanya. Saya ajukan pertanyaan, mahasiswa mengisi, lalu kertas digeser lagi. Begitu seterusnya.
Hanya ada empat pertanyaan, tepatnya saya minta mereka memberi masukan terhadap saya dan mata kuliah yang saya ajarkan. Diantara komplimen yang saya terima, ada juga kritik. Macam-macam komentar mereka. Mulai dari cara saya mengajar, materi yang saya ajarkan, hingga cara berpakaian dan tatanan rambut.
Luar biasa. Membuat saya terbelalak dan tersadar. Betapa semua pendapat itu membuat saya berpikir untuk segera memperbaiki diri. Saya ingin, pada kesempatan berikutnya saya lebih bisa berkualitas. Bukan seperti yang mereka mau. Karena belum tentu sesuai dengan kepribadian saya. Semoga selalu akan ada kesempatan lain itu.
Bagaimana jika tak ada kesempatan kedua atau berikutnya?
Mengajar hanyalah persoalan kecil. Jika saya dianggap tak layak, hal terburuk saya tidak lagi diikutsertakan mengajar pada semester berikutnya. Namun jika menyangkut soal ajal, siapa tak gusar?
Seorang sahabat baru-baru ini kehilangan ayah yang dicintainya. Sang ayah meninggal dunia ketika beliau sedang tidur. Tak ada gejala, tak ada pertanda. Pergi saja tanpa pamit.
Awal tahun ini kita dikejutkan oleh hilangnya pesawat Adam Air dengan ratusan penumpang di dalamnya. Entah selamat, entah kiamat, belum ada yang bisa memastikan.
Kematian, jika bukan kita atau orang terdekat kita yang mengalaminya, tak akan benar-benar mengusik perasaan. Siapa saja akan mati. Siapa saja bisa mati dengan cara apa saja. So what?
Tentu saja. Bahkan, setiap kali saya pamit mau pergi jauh dari rumah, ketika Ibu saya tak bosan-bosan berpesan agar saya berhati-hati, saya selalu bilang dengan sembrononya. "Iya, mam. Saya akan selalu berhati-hati. Saya akan menjauhi masalah apa pun. Tapi, ajal kan tuhan yang ngatur."
Ajal milik tuhan. Kapanpun Ia kehendaki, maka kehendakNyalah yang terjadi.
Lalu yang saya risaukan adalah bukan kapan, bagaimana, dan dimana kematian itu datangnya. Namun, apa yang akan terjadi dengan jiwa saya setelah saya mati? Menurut saya, dari percampuran sejumlah keyakinan yang saya pelajari bahwa jiwa seseorang setelah mati akan memiliki tiga pilihan. Ke surga atau nirwana, ke tempat dimana semua jiwa yang selamat akan berada. Surga adalah segala kebaikan. Pilihan kedua adalah, jiwa yang akan terlahir kembali. Tergantung amal perbuatan dan karma, jiwa ini entah terlahir kembali sebagai manusia, hewan, atau makhluk lain yang nyata. Ketiga, adalah makhluk gentayangan antara ada dan tiada. Inilah neraka sesungguhnya. Tempat dimana kita akan berpenampilan sangat buruk. Tempat dimana kita dipenuhi oleh rasa penyesalan, kesunyian, segala kejahatan, dan bentuk kegelapan.
Pilihan ketiga itulah yang saya takutkan. Padahal hati dan perbuatan saya masih kotor. Padahal begitu banyak keinginan yang belum tercapai hingga hati saya melekat padanya. Padahal hati adalah sumber terbesar penyebab kemana pilihan-pilihan itu akan memilih.
Gusti, beri saya selalu kesempatan untuk memperbaiki hati.Biar hanya hati yang bersih yang saya miliki. Biar hanya perbuatan yang baik yang saya lakukan. Agar hanya pilihan baik yang memilih saya.
Comments