Kapan terakhir Anda menasihati sahabat Anda?
Akhir pekan lalu telepon selular saya berdering. Seorang sahabat yang sudah terpisah lebih dari tiga belas tahun tiba-tiba menghubungi. Baru saja ada reuni kecil, tapi sayang saya tak hadir. Ia merantau ke luar kota yang jauh dari Jakarta dan terkaget-kaget mendengar begitu banyak kabar dari teman-teman lain. Dia mengira kami akan sama saja seperti saat kami masih bersama.
Sahabat saya yang kini sudah bersuami ini rupanya pernah memendam suka sama sahabat yang lain yang sekarang sudah pula berkeluarga. Pertemuan lalu itu digunakan mereka untuk saling curhat. Kedua-duanya saling kaget dengan kisah perjalanan hidup masing-masing. Sahabat saya yang pertama, lebih kaget lagi karena pria yang dulu sangat ia kagumi karena kesederhanaannya, telah berubah menjadi pria yang sangat 'berbeda'. Apalagi ditambah dengan hadirnya wanita simpanan di antara ia dan isterinya.
Pendek kata, sahabat saya sangat kuatir. Ia menghubungi saya untuk minta tolong, memberi nasihat kepada sahabat pria kami itu. Saya terbengong-bengong. Memberi nasihat? O, pelis.
Saya bersahabat dengan banyak orang. Tapi kapan terakhir saya memberi nasihat kepada sahabat-sahabat saya itu agar tidak begini-begitu? Saya lupa sudah lama tak melakukannya. Bukannya saya tak perduli. Tapi bukannya jadi terkesan ikut campur urusan mereka? Prinsip saya, jika saya tak diundang untuk masuk, untuk apa masuk. Ada wilayah-wilayah pribadi yang tak bisa saya masuki sembarangan.
Seorang sahabat, sudah bersuami dan berputra, menjalin sebuah hubungan dengan pria beristeri. Dia bercerita dengan senangnya. Hmm, meskipun dalam hati saya sangat sangat sangat tidak setuju dengan jalan yang ambil, tapi tokh dia tetap sahabat saya. Saya yakin dia tahu bahwa lakon yang ia perankan tidaklah benar.
Apa saya harus menghakimi bahwa apa yang dia lakukan salah?
Apa perlu saya menasihati dia?
Akhir pekan lalu telepon selular saya berdering. Seorang sahabat yang sudah terpisah lebih dari tiga belas tahun tiba-tiba menghubungi. Baru saja ada reuni kecil, tapi sayang saya tak hadir. Ia merantau ke luar kota yang jauh dari Jakarta dan terkaget-kaget mendengar begitu banyak kabar dari teman-teman lain. Dia mengira kami akan sama saja seperti saat kami masih bersama.
Sahabat saya yang kini sudah bersuami ini rupanya pernah memendam suka sama sahabat yang lain yang sekarang sudah pula berkeluarga. Pertemuan lalu itu digunakan mereka untuk saling curhat. Kedua-duanya saling kaget dengan kisah perjalanan hidup masing-masing. Sahabat saya yang pertama, lebih kaget lagi karena pria yang dulu sangat ia kagumi karena kesederhanaannya, telah berubah menjadi pria yang sangat 'berbeda'. Apalagi ditambah dengan hadirnya wanita simpanan di antara ia dan isterinya.
Pendek kata, sahabat saya sangat kuatir. Ia menghubungi saya untuk minta tolong, memberi nasihat kepada sahabat pria kami itu. Saya terbengong-bengong. Memberi nasihat? O, pelis.
Saya bersahabat dengan banyak orang. Tapi kapan terakhir saya memberi nasihat kepada sahabat-sahabat saya itu agar tidak begini-begitu? Saya lupa sudah lama tak melakukannya. Bukannya saya tak perduli. Tapi bukannya jadi terkesan ikut campur urusan mereka? Prinsip saya, jika saya tak diundang untuk masuk, untuk apa masuk. Ada wilayah-wilayah pribadi yang tak bisa saya masuki sembarangan.
Seorang sahabat, sudah bersuami dan berputra, menjalin sebuah hubungan dengan pria beristeri. Dia bercerita dengan senangnya. Hmm, meskipun dalam hati saya sangat sangat sangat tidak setuju dengan jalan yang ambil, tapi tokh dia tetap sahabat saya. Saya yakin dia tahu bahwa lakon yang ia perankan tidaklah benar.
Apa saya harus menghakimi bahwa apa yang dia lakukan salah?
Apa perlu saya menasihati dia?
Comments