Skip to main content

Anti Mooo


Saya pemabok! Akut malah. Haha. Bukan mabok minuman keras, tapi mabuk darat dan laut. Untunglah ada Antimo yang selalu mengantarkan saya ke tempat tujuan dengan selamat. Seringnya, saya tak mau perduli dengan pemandangan selama perjalanan. Begitu saya duduk di kapal atau bis, saya akan terkapar tidur. Hal tesebut saya lakukan karena saya menyadari kekurangan saya: gampang mabok!

Sejak kecil, Bapak sering mengajak saya bepergian. Meskipun setiap kali saya muntah, Bapak tak pernah kapok mengajak. Berikutnya untunglah, Ibu sering membekali saya dengan Antimo.

Antimo sedemikian menancap dalam ingatan dan pengalaman. Hingga saat ini, saya ragu apakah ada produk obat anti mabok selain Antimo? Dengan teman-teman kecil dulu, saya suka bermain tepuk silang tangan sambil bernyanyi jingle iklan Antimo:

Antimo obat anti mabok
Mabok darat lautan udara
Minumlah Sebelum Bepergian
Antimo, menyegarkan perjalanan Anda

Belakangan di televisi, Antimo beriklan meskipun tanpa iklan, Antimo tetap melaju tanpa pesaing. Kata 'anda' di kalimat terkahir jingle terseubt, kini diganti dengan 'kita'.

Antimo memiliki sejarah penting dalam hidup saya. Saya pernah tak bangun selama 24 jam sejak minum dua butir Antimo dalam perjalanan bis Jakarta-Jambi. Antimo juga membuat perjalanan saya aman dari mabok dari Jakarta ke Bali, dengan bis selama 24 jam!

Pernah pula, perjalanan lima belas menit dari pantai Anyer ke pulau Syang Hyang, saya lewati dengan dua kali muntah. Padahal saya baru saja bergabung dengan diving club Exelcomindo yang orang-orangnya baru saya kenal semua. Memalukan.

Waisak tahun 2003, saya dan sejumlah sahabat dari klub foto Darwis Triadi, ramai-ramai mengunjungi Borobudur. Karena juga long weekend, tiket kereta maupun pesawat habis terjual. Salah satu alternatif adalah bis. Itu pun yang kami dapatkan adalah tiket dari bis tambahan. Yogya sepertinya menjadi favorit banyak orang.

Menurut jadual, bis akan berangkat jam 8pm. Tiga puluh menit sebelumnya kami sudah tiba di terminal Rawamangun. Menjelang jam 8, saya minum dua butir Antimo. Biar pulas, pikir saya. Diluar dugaan, bis yang mestinya jalan jam 8 meleset dari jadual. Kami diminta menunggu hingga jam 10pm. Padahal Antimo sudah mulai bekerja. Terminal ramai sekali. Tak ada kursi buat saya duduk untuk menahan kantuk. Saya mulai tak sadarkan diri. Kepala berasa kleyengan. Nekad, saya menggeletak saja di trotorar. Sahabat-sahabat saya sibuk menjaga harta benda saya.

Lewat jam 10pm, bis tak kunjung tiba. Petugas terminal mengumumkan, bis yang akan membawa kami ke Yogya masih ada di Bandung. Hah? Berapa lama lagi kami harus menunggu? Kami diminta menunggu hingga waktu tak jelas! Sinting. Bis akhirnya datang juga jam 2 pagi.

Selanjutnya, kemanapun saya pergi, jika jaraknya lumayan jauh dan terutama jika itu perjalan laut, saya tak akan pernha ragu untuk meneggak Antimo.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.