Skip to main content

Bisul Saya Dipatuk Ayam!


Pagi ini saya sarapan dengan telur dadar, acar buncis, dan sepotong tempe goreng dari sebuah warung makan. Sarapan bagi saya adalah wajib.

Saya sangat suka makan telur dadar. Waktu saya kecil, di belakang rumah, Bapak membangun kandang ayam negeri petelur sebagai bisnis sampingan keluarga. Ratusan butir telur kami panen setiap hari untuk kemudian saya pasarkan ke sejumlah warung dan restoran.

Saya sering melihat Ibu memasak telor mata sapi atau telur dadar. Maka, jika mulut saya ingin memamah biak padahal uang jajan sudah habis dan jam makan sudah lama lewat, saya akan memungut satu atau dua butir telur dari kandang. Saya tuangkan ke dalam mangkok, masukkan garam, dan vetsin, lalu dikocok. Biar terlihat penuh, saya akan kocok terlalu lama-lama hingga berbuih. Saya juga kadang menambahi dengan tepung terigu. Hmmm, kueh dadar telur siap saya nikmati. Karena siang menjelang sore biasanya rumah sepi, saya akan sangat menikmati kue tersedap buatan saya itu sendirian. Seorang sepupu yang sering memergoki kegiatan saya, sering menakut-nakuti. Katanya, kalau kebanyakan makan telur akan bisulan.

Suatu hari saya betulan bisul, di (maaf) pantat. Saya tak mau bilang ke orang rumah. Sepertinya saya sudah over dosis makan telur. Namun rupanya bisul tersebut membuat saya sulit bergerak. Padahal ada sejumlah pekerjaan yang mesti saya jalani rutin setiap harinya. Misalnya menyapu halaman, mengisi bak mandi, hingga mengantar telur-telur ke sejumlah warung.

Ketika bisul semakin besar dan saya semakin sulit bergerak, terpaksa saya bilang sama orang tua agar tugas-tugas harian saya bisa diambil alih oleh saudara saya yang lain.

Sewaktu bisul benar-benar terlihat matang berbinar siap meletus, saya sama sekali tak bisa berjalan. Bahkan saya harus bolos sekolah. Ada beberapa saran dari orang rumah agar bisul cepat kempis. Tapi saya lupa apa saja. Namun salah satunya adalah dengan menyodorkannya ke ayam. Ayam akan mematuknya hingga bisul pecah dan bisul akan sembuh dengan seketika.

Saya percaya. Maka saya melakukannya. Benar saja. Bisul yang memerah dadu itu, setelah diolesi minya, terlihat sangat ranum. Selain ayam negeri, Bapak juga punya sejumlah ayam kampung yang dibiarkan lepas dari kandang. Suatu sore, saya pelorotkan celana untuk mengundang ayam mematuk bisul. Saya taburi butiran beras di mana saya jongkok untuk memancing ayam mendekat.

Dengan harap-harap cemas, saya berdoa panjang pendek. Berdoa agar semua segera berakhir. Tak berapa lama, saya merasakan sebuah benda tajam menusuk pantat saya dengan sedemikian cepatnya. Saya menjerit keras sambil lompat menjauh karena tak hanya satu ayam saja yang tertarik dengan bisul saya. Saya lari terbirit-birit menyelamatkan diri. Eh, saya sembuh!

Bahwa cara termudah menyembuhkan bisul adalah dengan membiarkan bisul kita dipatuk ayam membuat saya tambah percaya setelah saya mengalaminya. Tapi adik perempuan saya yang mungkin baru berumur empat tahun jelas tak mudah percaya.

Tak berapa lama saya sembuh, berikutnya adalah adik saya yang terserang bisul. Tapi tidak di pantat seperti saya, melainkan di salah satu puting susunya. Saya tak tahu gara-garanya, mungkin juga karena kebanyakan makan telur. Makin hari makin membesar. Ibu saya membawanya ke dokter. Dokter memberikan salep. Setiap pagi dan sore Ibu akan mengoleskan salep di sekitar bisul adik saya.

Setelah beberapa hari salep bekerja, tak ada kemajuan yang berarti. Saya tak percaya pada salep itu. Yang saya percaya adalah patukan ayam. Saya prihatin sama si adik karena setiap saat meringis kesakitan. Saya perasakan betapa tidak nyamannya mengidap bisul. Rasanya ingin sekali menyembuhkan. Saya menyarankan agar Ibu mengambil jalan seperti cara yang saya tempuh. Ibu saya tidak setuju.

Suatu sore adik saya baru mandi di sungai. Dengan handukan sebatas dada, saya tuntut dia pulang. Saya tak tahu bahwa handuk yang dikenakan oleh adik saya akan melorot. Saya juga tak menyadari ada sekawanan bebek entog yang rupanya sedang mengincar bisul di puting susu adik saya. Yang saya tahu berikutnya adalah adik saya jejeritan dengan sangat gaduh. Seekor entog yang tubuhnya lebih besar dari tubuh adik saya telah nyosor mematuk bisul.

Saya panik. Buru-buru memanggul adik saya dan lari menyelamatkannya sebelum entog-entog yang lain melumatnya hidup-hidup. Setelah dirasa aman dan komplotan entog itu terlihat tidak lagi mengejar, saya menurunkan adik saya. Memeriksa dadanya yang berdarah-darah. Tangisnya masih melolong seperti anak serigala ketinggalan malam purnama. Sejumlah tetangga yang curiga segera mengerumuni.

Patukan ayam telah menyembuhkan bisul saya. Sodokan entog telah menyembuhkan bisul adik saya. Saya tak tahu bagaimana orang-orang sekarang menyembuhkan bisul yang dideritanya. Atau kuman bisul sekarang sudah punah dari permukaan bumi?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.