Skip to main content

Blog Addict



Belum lama saya membongkar tumpukan buku tua di rumah. Saya mendapati belasan jilid buku harian yang sejak duduk di bangku SMP sudah rutin saya isi. Saya sempatkan diri untuk membuka halaman demi halaman, jilid demi jilid.

Ah, rupanya saya pernah menyukai teman sekelas. Ah, rupanya saya pernah ditaksir kakak kelas. Ah, rupanya saya pernah sangat kesal sama ketua kelas. Ah, saya pernah dijudesin sama guru bahasa.

Hingga masuk SMA, lalu kuliah, kebiasan itu tak bisa hilang. Bahkan setelah masuk kerja pun. Rupanya saya pernah sangat tertekan dengan perlakuan atasan saya waktu itu. Saya juga pernah sedemikian cinta mati pada pacar saat itu (tidak satu kantor) hingga sering melakukan pertemuan-pertemuan rahasia saat jam kerja. Namun saya segera menghentikan kebiasan menulis jurnal ketika suatu ketika pacar saya menyandera salah satu jurnal yang biasa saya tulisi. Dia cemburu dan marah karena saya masih kerap berhubungan dengan mantan saya yang lain.

Banyak cerita. Banyak kenangan.

Lalu datanglah dunia internet. Mulanya saya hanya menulis puisi. Lalu jurnal foto. Saya tak pernah mau menulis jurnal tentang keseharian atau perasaan saya secara berlebihan. Akhirnya saya mencoba berlatih menulis essay ringan. Ide mengalir laksana angin. Semua hal yang saya lihat bisa menjadi ilham untuk bahan tulisan. Semua hal yang saya rasa memberi inspirasi untuk saya tulis.

Konsekuensinya, saya dituntut untuk lebih banyak melihat, membaca, dan merasa. Memiliki blog, sama halnya dengan memiliki sebuah penerbitan. Layaknya majalah atau surat kabar, saya harus memikirkan isi dan waktu terbit. Untungnya, saya sangat fleksibel. Saya boleh menulis apa saja, memuat apa saja. Saya bisa menerbitkan tulisan sehari satu, dua, atau lebih, atau bisa saja beberapa hari cuma satu.

Beginilah. Inilah. Blog telah menjadi bagian dari gaya hidup. Blog telah menjadikan saya terus hidup.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.