Skip to main content

Botak! Pletak!

Ibu saya bilang, sejak bayi saya tak pernah sekalipun digunduli. sudah besar pun, sepertinya saya tak pernah punya alasan untuk menggunduli kepala. Selama sekolah di SD, gaya rambut yang rutin saya (tepatnya Ibu) pilih adalah model tentara. Belakang tipis tapi pas bagian ubun-ubun tebal. Kata Ibu, lebih bagus. Tapi aku curiga, jangan-jangan Ibu memilihkan model itu supaya saya tak sering-sering pergi ke tukang cukur.

Saya ingat. Setiap tiga bulan sekali ke pasar Jumat, dekat rumah. Tapi lupa berapa tarifnya. Si Bapak Cukur akan memasang sebuah papan di antara armchair dan saya naik untuk duduk di atasnya. Kalau orang dewasa, akan dipersilakan langsung duduk di kursi itu tanpa papan. Di bagian belakang dan depan ada kaca lebar sekali. Lalu sebuah kain blacu putih yang sudah sangat dekil akan disarungkan ke badan saya. Mulailan Pak Cukur bekerja.

Setelah masuk kelas 5 SD dan seterusnya, saya tak pernah memilih model itu lagi. Bukan karena pitak. Yeah, kesannya old fashioned saja.

Memotong rambut dengan sangat pendek pernah dua kali saya lakukan setelah dewasa. Pertama ketika mapras masuk kuliah. Biasa, ulah senior. Beberapa mahasiswa baru yang tak dipotong pendek akan dicukur paksa dengan model acakadut. Sekali lagi, saya potong maksimum 1 cm ketika saya putus hubungan dengan salah seorang pacar saya. Frustasi, ceritanya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.