Skip to main content

Horor Me Softly


Sahabat saya baru saja mengirimi link berikut: http://fizzlebot.com/sinthai/room.htm. Karena saya penasaran, saya lalu membukanya. Ternyata sesuatu yang sangat horor. Mau saya sudahi rasanya enggan. Ingin tahu hingga akhir permainan. Padahal saya sangat tak suka sesuatu yang berbau horor. Dampaknya, rekan-rekan kerja saya dibuat jengkel karena tiba-tiba saya menjerit kaget setelah melihat sesuatu yang spooky muncul tiba-tiba di monitor. Well, saya memang penakut.

Saya gemar menonton film. Namun genre horor bukanlah film yang masuk daftar tontonan. Beberapa waktu lalu, saya sengaja tak menonton hingga selesai Dacota Fanning di 'Hide and Seek'. Kecuali 'The Other' yang dimainkan Nicole Kidman sekian tahun lalu karena saya tak mengira film itu adalah semacam horor. Untungnya unsur horornya hanya muncul di akhir fil bahwa sesuangguhnya orang-orang yang saya lihat dari awal film hingga film berakhir rupanya adalah hantu semua. Hiiii....

Film horor pertama saya adalah 'Jimat Benyamin'. Saya masih ingat bagaimana Benyamin Sueb masuk goa dengan bola-bola warna-warni menyala terang. Tapi saya lupa bagian mana dari film itu yang paling menakutkan. Yang terang, saya mendapat mimpi buruk dan Ibu saya dibuat repot untuk menghentikan igauan saya. I was about 5. Film itu ditayangkan pada layar tancap di lapangan bola dekat rumah, disponsori oleh perusahaan kecap.

Namun tak membuat kapok. Beberapa tahun kemudian, saya masih pergi ke bioskop atau layar tancap untuk melihat punggung bolong Suzanna atau tak henti-hentinya mendengarkan sandiwara radio Mak Lampir. Seperti biasa, mimpi buruk selalu bergentayangan setelah saya menyaksikan film tersebut.

Saya kecil, tinggal di sebuah desa dimana cerita mistis begitu biasa beredar. Setiap orang dewasa sepertinya punya cerita tentang hantu yang mereka lihat di atas pohon pisang, di tengah rumpun bambu, di atap rumah, dll. Semua terdengar sangat aneh tapi jelas sangat menakutkan. Sepertinya hantu ada di setiap jengkal kampung.

Sejak SMP, saya diperbantukan untuk mengurus salah satu usaha keluarga yang jaraknya sekitar 100 meter dari rumah. Antara rumah dengan tempat itu jarang sekali rumah. Masih banyak kebon dan pohonan yang diameternya dua bahkan tiga pelukan orang dewasa. Di antara pohon-pohon itu, banyak cerita beredar sering terlihat kuntilanak berayun atau sekedar berdiri sedih. Apalagi, di antaranya ada berdiri sebuah rumah yang dihuni sepasang aki dan nini tua, yang konon mereka ini adalah tukang tenung!

Hampir setiap malam saya melewati jalanan pendek itu. Penerangan jalan sangat payah. Saya tak pernah berani berjalan sendiri. Saya baru bisa pulang jika ada ditemani oleh orang dewasa. Sedihnya, saya sering harus pulang sendiri. Saya perlu menunggu ada orang lewat agar saya bisa melintas jalanan jahanam itu tanpa sendirian. Jikapun nekad saya melakukannya sendirian, saya harus berlari sekencang mungkin sambil berdoa tak kalah kencangnya.

Suatu hari, seorang kawan Bapak menghadiahi saya sebuah cincin. Mungkin
beliau tahu cerita betapa penakutnya saya. Katanya, dengan menggunakan
cincin ini, saya akan menjadi pemberani. Ajaib, benar saja! Saya menjadi sangat pemberani semenjak itu. Bahkan jika tengah malam harus keluar rumah.

Waktu demi waktu saya betul-betul menjadi sangat berani. Bahkan setelah cincin itu tak muat lagi di jari saya. Seolah saya meantang semua hantu di jagat raya, tak akan membuat saya terbirit-birit. Tapi ternyata, meskipun berani menghadapi seseram apapun horor di dunia nyata, saya tetap tak punya nyali menyaksikan film horor.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.