Skip to main content

Me, the Tarot Reader



Sejak beberapa waktu lalu saya merasa tiba-tiba dapat berkah bisa menerjemahkan kartu tarot, saya niat sekali untuk memiliki kartu tersebut. Saya sengaja berburu ke Kino Kuniya Plaza Senayan, tak ada. Maksud saya, memang banyak tarot yang dijual di sana. Tapi versi yang saya cari tak ada. Ganti hari, saya berkunjung ke Kino Kuniya yang di Plaza Indonesia. Puji Tuhan, saya mendapatkannya.

Malam itu, hari berikutnya, dan hari berikutnya, saya terus berlatih membaca kartu-kartu tersebut melalui sahabat-sahabat saya. Percintaan, karir, kesehatan.

Apa yang bisa saya ungkapkan dari kartu-kartu yang terbuka itu, kadang membuat saya heran tentang keajaiban tarot. Bagaimana mungkin, sebuah kisah nyata yang sedang dialami oleh orang-orang itu, bisa terungkap seperti apa adanya sesuai dengan deretan kartu yang saya baca. Biasanya, di awal ramalan, saya minta mereka untuk tidak bercerita dulu. Tentu saja, untuk menghindari kontaminasi ramalan.

Kecuali masa depan yang masih belum pasti, sejauh ini, saya bisa katakan bahwa apa yang saya baca umumnya sesuai dengan keadaan.

Untuk memperkaya pengetahuan dan mempertajam mata batin, saya juga banyak membaca referensi tentang tarot dan bermeditasi, termasuk berkonsultasi (belum, seh) pada pakarnya dan terus berlatih.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.