Skip to main content

Me vs Ego


Saya merasa begitu banyak kebodohan yang saya lakukan hari demi hari. Begitu banyak waktu, tenaga, uang, dan pikiran yang hamburkan untuk sesuatu yang tak terlalu penting. Mungkin hanya berdasarkan kesenangan sesaat.

Percakapan tadi malam dengan seorang sahabat membuat saya tertegun untuk beberapa lama. Lalu saya berbincang dengan diri saya sendiri dan mencari padanan obrolan sejenis dengan sejumlah sahabat lainnya. Konteksnya tak selalu sama, memang. Tapi saya mencoba mengumpulkannya menjadi sebuah bab pelajaran.

Apakah saya impulsif?
Suatu malam, saya berkunjung ke sebuah mall. Saya punya janji. Seharian saya bekerja di luar kantor bahkan sepatu saya sangat kotor karena sering menginjak lumpur. Di tengah suasana mall yang terang benderang, sepatu tua saya yang kotor itu sedemikian mencolok. Padahal saya sangat percaya uangkapan bahwa 'sepatumu adalah dirimu'. Saya jadi gelisah. Ketika saya melintas sebuah counter, saya tak berpikir panjang untuk menjemput sepasang sepatu bermerek terkenal dengan discount 50%. Sepatu langsung saya pakai.

Saya berjumpa seorang kawan baru yang saya curigai dia menyukai saya. Kebetulan saya juga suka. Tanpa sebuah proses yang panjang, saya langsung utarakan perasaan saya.

Sebuah e-newsletter berupa tawaran untuk piknik ke luar negeri mampir di inbox email. Gratis! Segera saya ambil kesempatan itu, tanpa berpikir panjang. Tanpa berhitung untung rugi.

Apakah nafus lebih banyak bicara?
Arief (bukan nama sebenarnya), seorang sahabat saya, sudah lama meninggalkan isterinya di luar kota untuk bekerja. Pada sebuah obrolan, saya menanyakan hal wajar yang lumayan pribadi. "How do you handle your libido?" Jawabannya, sudah saya tebak: hands-job. Tapi kemudian ia menambahkan. "Gue baru saja selesai kelas meditasi. Pelatih gue bilang, nafsu sex yang datang tiba-tiba bisa dikendalikan dengan meditasi. Energi yang luar biasa tinggi itu bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang optimal."

Sahabat saya yang lain, baru saja dinasehati oleh kekasihnya. Mereka menjalani hubungan jarak jauh. "Tahan. Jangan selalu menuruti hawa nafsu. Alihkan saja dengan mengerjakan kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Masa' nafsu sendiri saja tak bisa dikendalikan? Jangan biarkan diri kita kalah oleh nafsu sendiri."

Apakah ego yang lebih banyak bicara?
Saya pernah dipanggil untuk mengikuti sebuah interview di sebuah perusahaan asing. Lolos interview, saya diminta untuk mengikuti kelas psikotest. Saya terperanjat karena hal itu tak masuk jadual maka saya tak siap. Saya sempat berdebat, apalagi soal test hanya berupa hitung-hitungan saja. Saya merasa, perusahaan itu memanggil karena telah sepakat dengan proposal yang saya ajukan. Akhirnya saya ikuti juga test. Untungnya lolos hingga saya satu-satunya calon yang terjaring.

Namun langkah saya tersendat. Lagi-lagi saya begitu kaku pada proposal. Saya ingin gaji sekian. Jika mereka tak sanggup dengan angka yang saya minta, sebaiknya saya tak perlu memaksakan diri.

Belum lama ini, seorang pimpinan dari sebuah perusahaan menawari saya sebuah pekerjaan dengan posisi tinggi. Saya merasa terlalu percaya diri bahwa sayalah orang yang tepat untuk duduk di posisi yang beliau tawarkan. "I'm not loking for a new job. Silakan, ini hal-hal yang saya ajukan untuk bisa Bapak pelajari." Setelah pertemuan itu usai, saya tersadar.

Bukankah selama ini saya telah banyak menyia-nyiakan kesempatan?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.