Skip to main content

Motorcycle Republic # 1


Beberapa kali saya geram terhadap para pengendara sepeda motor. Mereka menyesaki jalanan dari segala penjuru mata angin. Memotong jalan dengan santai, melaju pelan di jalur cepat. Ruang sempit menyelinap, tak ada ruang pun dipaksakan ada. Lebih geram karena beberapa kali mobil saya baret-baret dipepet dan ditabrak. Bikin bete, mereka kabur tanpa mau bertanggung jawab.

Suatu sore, saya mau belok kiri dengan lampu sign terpasang sejak puluhan meter sebelum saya belok. Kendaraan melaju pelan. Tepat ketika saya hendak belok, sekilas saya melihat sebuah motor melaju cepat menyalip dari sebelah kiri. Saya tak sempat menginjak rem.

Gedubrak! Sebuah motor dengan seorang pengendaranya terkapar jatuh menghalangi. Saya tertegun kaget. Beberapa sopir taksi yang sedang mangkal di ujung jalan berdiri diam. Saya keluar mobil untuk melihat keadaan. Pun berdiri diam.

Pelan-pelan orang itu bangkit, berdiri tak sempurna sambil meringis. Memandang saya, memandang para sopir taksi, bergantian. Tak seorang pun mengulurkan bantuan untuk dia. Ada dilema di kepala saya. Jika saya menolong dia, secara langsung saya mengakui bahwa saya telah menabrak dia. Berdiri tanpa menolong pun lebih menyakiti perasaan. Namun setidaknya, saya seperti mendapat dukungan dari para sopir.

Saya diam. Para sopir taksi diam. Orang itu makin keras meringis. "Pak, gimana, nih?" tanyanya minta saya maklum. Khalayak menunggu reaksi saya. Saya menggelengkan kepala. "Motor saya rusak. Saya juga mesti ke rumah sakit." Sambungnya lagi. Saya tahu betul kemana arah omongan dia.

Saya berjalan berputar, memeriksa kendaraan. Sebuah bolong besar menganga di bagian pintu depan. "Saya ganti kerusakan motor Anda, dengan syarat: Anda ganti kerusakan mobil saya." Dia melongo.

Seorang sopir taksi buka suara. "Bapak ini tidak bersalah. Dia udah pasang lampu sign kiri dari jauh. Sampeyan yang salah." Saya lega. Tak perlu ngotot buang energi. Saya tatap pengendara motor itu dengan tajam.

"Biaya ke dokter aja, deh...", katanya memelas, bernegosiasi. Lagi-lagi semua orang menunggu reaksi saya. Saya bukanlah makhluk tak berperasaan. Tapi jika ada orang yang semena-mena ingin memanfaatkan situasi padahal karena kebodohan yang ia lakukan, saya tak akan bisa terima. "Anda telah mencelakakan diri Anda sendiri. Anda tahu masalah Anda?" Orang itu diam. Berdiri tegak, mungkin menyadari betapa upayanya akan mengalami kegagaln.

"Singkirkan motor Anda! Saya mau lewat." Orang itu berdiri lebih tegak. Lalu dengan pelan mendorong motornya ke pinggir. Saya pamit ke kerumunan soir taksi yang ternyata semakin banyak jumlahnya, karena di lokasi itu juga ternyata memang biasa mereka mangkal.

Saya tak bisa mengendari motor. Well, sebetulnya bukan tak bisa. Tapi tak punya keberanian untuk mengendarainya di jalan raya karena kecelakaan tunggal yang pernah saya alami. Belakangan, kadang saya memilih naik ojek untuk mobilitas harian.

Hari demi hari saya mendapatkan satu demi satu pengalaman. Ketika saya berada di punggung tukang ojek, saya sepertinya perlu untuk pelan-pelan menerima alasan mengapa akhirnya begitu banyak rambu dan aturan lalu lintas dilanggar oleh para pengendara sepeda motor: putar balik di sembarang puteran, menyalip dari sebelah kiri, melawan arus, menerobos lampu merah, naik trotoar, naik jembatan penyebrangan,...

Maka ketika satu pengendara sepeda motor mengilhami pengendara lainnya, walhasil beginilah pemandangan kota jadinya. Lalu lintas jadi tambah semrawut.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.